Tahun Baru, Sampah Baru: Jejak Limbah Perayaan yang Terlupakan
Ringkasan Penting
- Perayaan Tahun Baru meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang masif, mulai dari ratusan ton sampah plastik, limbah makanan, hingga polusi udara dan logam berat dari kembang api yang berdampak jangka panjang.
- Petugas kebersihan menjadi pihak yang menanggung beban paling nyata dari euforia publik, bekerja sejak dini hari dengan upah dan perlindungan minim untuk membersihkan sisa perayaan yang hanya berlangsung beberapa jam.
- Alternatif perayaan ramah lingkungan sebenarnya ada, seperti pertunjukan drone, laser, dan pengurangan food waste, namun belum menjadi kebijakan atau kesadaran kolektif yang serius di Indonesia.
, JAKARTA – Pukul 00.30 WIB, 1 Januari 2025, sebagian besar warga Jakarta masih terlelap setelah perayaan malam pergantian tahun. Sementara Sugeng, seorang petugas kebersihan berusia 52 tahun dari Unit Pengelola Kawasan Kota Tua Jakarta, sudah bersiap dengan sapu dan gerobak sampahnya. Bersama empat belas rekannya, ia harus membersihkan kawasan Taman Fatahillah dari sampah sisa perayaan. Target mereka: pukul 04.00, seluruh kawasan seluas dua kali lapangan sepak bola itu harus sudah bersih kembali.
“Kalau mengeluh, pekerjaan ini tidak akan selesai-selesai. Harus ikhlas supaya pekerjaannya jadi ringan,” kata Sugeng dengan suara tenang, meski mata lelahnya mengisyaratkan betapa panjangnya malam itu.
Di saat yang sama, puluhan kilometer dari Kota Tua, ribuan petugas kebersihan lainnya tersebar di seluruh sudut Jakarta. Mereka adalah pahlawan tanpa sorotan kamera yang bekerja di balik kemeriahan tahun baru, membersihkan jejak perayaan yang ditinggalkan jutaan orang.
132 Ton dalam Semalam: Potret Berlebihan yang Berulang
Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat angka yang mengejutkan: perayaan malam Tahun Baru 2025 menghasilkan 132 ton sampah di ibu kota. Angka ini meningkat 2 ton dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 130 ton, tertinggi setelah masa pandemi.
Asep Kuswanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, sebelumnya memprediksikan jumlah sampah bisa mencapai 150 ton karena bertambahnya titik keramaian dan prediksi hujan yang dapat menambah berat sampah. Namun, hujan tidak turun malam itu, sehingga angka yang terkumpul sedikit lebih rendah dari perkiraan.
Untuk menangani timbunan sampah tersebut, pemerintah provinsi mengerahkan 3.900 petugas kebersihan dilengkapi 68 truk typer, 53 road sweeper, dan 27 mobil lintas. Sebanyak 2.100 petugas khusus ditugaskan di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, pusat perayaan terbesar di Jakarta.
Para petugas bekerja dalam sistem dua shift: shift malam mulai pukul 00.30 hingga 06.00 WIB, dilanjutkan shift siang dari 06.00 hingga 16.00 WIB. Proses pembersihan memakan waktu satu hari penuh untuk memastikan jalanan dan tempat wisata kembali normal.
“Shift sore hingga malam hari adalah waktu paling krusial karena aktivitas masyarakat mencapai puncaknya pada jam-jam tersebut,” ujar Asep.
Komposisi sampah yang terkumpul masih didominasi plastik: botol minuman kemasan, bungkus makanan, dan aneka kemasan sekali pakai lainnya. Ini terjadi meskipun pemerintah telah menghimbau warga membawa tumbler dan wadah makanan yang dapat digunakan ulang.
Di Solo, Jawa Tengah, perayaan tahun baru menghasilkan 10,67 ton sampah, turun dari 13,03 ton pada tahun sebelumnya. Sebanyak 130 petugas kebersihan diterjunkan mulai pukul 00.30 WIB untuk membersihkan sepanjang Jalan Slamet Riyadi hingga Jalan Jenderal Sudirman. Sama seperti di Jakarta, sampah yang terkumpul sebagian besar terdiri dari plastik bekas bungkus makanan dan botol bekas air mineral.
Kembang Api: Keindahan Sesaat, Racun Selamanya
Di balik gemerlap cahaya kembang api yang menerangi langit Jakarta malam itu, tersimpan ancaman lingkungan yang jarang disadari. Kembang api bukan sekadar hiburan visual, ia adalah bom kimia yang melepaskan racun ke udara, tanah, dan air.
Kembang api terbuat dari campuran bahan kimia berbahaya. Bahan utamanya adalah mesiu yang terdiri dari batu bara, belerang, dan kalium nitrat. Untuk memperkuat reaksi kimia, ditambahkan zat pengoksidasi seperti kalium perklorat. Sementara warna-warni yang memukau berasal dari logam berat: stronsium untuk warna merah, natrium untuk kuning, barium untuk hijau, tembaga untuk biru, serta aluminium, mangan, dan kadmium sebagai penstabil ledakan.
Ketika meledak di udara, kembang api melepaskan partikel halus PM2.5 dan PM10 yang dapat menembus lapisan pelindung paru-paru dan masuk ke sirkulasi darah. Organisasi Kesehatan Dunia mencatat partikel ini berkontribusi besar terhadap penyakit serius seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, dan COPD.
Sebuah studi tahun 2010 menemukan dampak mengerikan: risiko kematian kardiovaskular meningkat hingga 125 persen dan risiko morbiditas kardiovaskular meningkat sebesar 175 persen pada hari-hari setelah pertunjukan kembang api. Penerimaan pasien di rumah sakit untuk kasus asma dan masalah pernapasan memuncak sehari setelah pesta kembang api.
Data dari penelitian di India menunjukkan bahwa selama perayaan Diwali, indeks kualitas udara dapat melonjak hingga angka 500, level yang dikategorikan sangat berbahaya. Festival tersebut dikaitkan dengan kenaikan 30 hingga 40 persen kasus masalah pernapasan dan polusi udara yang melanda kota-kota besar.
Dampak kembang api tidak berhenti di udara. Sisa ledakan meninggalkan residu kimia seperti perklorat yang mencemari tanah dan air. Sebuah penelitian menemukan konsentrasi perklorat meningkat 1.028 kali setelah 14 jam pertunjukan kembang api, dan baru bisa hilang dalam waktu 20 hingga 80 hari.
Logam berat dari bekas kembang api meninggalkan debu halus yang terus melayang selama berhari-hari dan dapat terhirup manusia. Sisa selongsong kembang api juga dapat tertelan hewan saat mencari makan, menyebabkan keracunan.
Di Jerman, setelah perayaan malam tahun baru, tercatat 10.000 ton plastik dan sampah berbahaya dari kembang api berserakan di mana-mana setiap tahunnya. Lebih dari 2.000 ton partikel halus PM2.5 disemburkan ke atmosfer setiap perayaan.
Dampak terhadap satwa liar juga tidak kalah mengerikan. Suara keras kembang api dapat mengganggu hewan, menyebabkan stres, ketakutan, hingga kematian. Beberapa penelitian menunjukkan angsa migran dapat terbang jauh meninggalkan tempat istirahatnya saat tahun baru dan tidak kembali. Ribuan burung bisa terbang panik hingga ketinggian 500 meter akibat suara ledakan.
Pada Tahun Baru 2021 di Roma, ratusan burung ditemukan mati dan Organisasi Internasional Perlindungan Hewan meyakini hal itu disebabkan suara petasan. Kasus serupa terjadi di Edinburgh, Skotlandia, pada November 2024. Roxie, seekor bayi panda merah berusia tiga bulan, ditemukan mati setelah tersedak muntahannya sendiri—reaksi stres akibat suara kembang api pada malam Bonfire Night. Ibunya, Ginger, juga mati lima hari sebelumnya, diduga karena stres serupa.
Jejak Makanan yang Terbuang
Sementara sampah plastik dan limbah kembang api mendominasi perhatian, ada satu kategori sampah perayaan yang jarang dibahas: food waste atau sampah makanan dari hotel dan restoran.
Indonesia tercatat membuang sampah makanan antara 23 juta hingga 48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019, setara dengan 115 hingga 184 kilogram per kapita per tahun. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan mencapai Rp 213 triliun hingga Rp 551 triliun per tahun, atau setara dengan 4 hingga 5 persen PDB Indonesia.
Laporan Bappenas tahun 2021 menunjukkan Indonesia menghasilkan 115 hingga 184 kilogram sampah makanan per kapita per tahun. Pada tahun 2020, negara ini memasuki kondisi darurat sampah makanan. Data Kementerian Lingkungan Hidup 2023 mencatat sampah makanan menyumbang 40,91 persen dari total sampah nasional, lebih besar dibandingkan sampah plastik yang hanya 19,18 persen.
Pada momen perayaan seperti tahun baru, masalah ini meningkat drastis. Hotel dan restoran menggelar gala dinner buffet dengan harga mulai dari Rp 199 ribu hingga Rp 425 ribu per orang. Di tengah kemewahan itu, food waste menjadi isu tersembunyi yang jarang terungkap.
Penelitian di Hotel Peninsula Manado menemukan faktor utama penyebab food waste adalah ketidaktepatan dalam mengatur setup buffet dan kelalaian konsumen yang tidak dapat mengatur porsi makan dengan baik. Indonesia sendiri menduduki peringkat kedua dunia dalam menghasilkan food waste setelah Arab Saudi, dengan 300 kilogram per orang per tahun dibandingkan 427 kilogram di Arab Saudi.
Beberapa hotel seperti Favehotel Solo telah mulai menggalakkan kampanye food waste dengan memberikan informasi kepada tamu agar mengambil makanan sesuai porsi. “Campaign food waste ini kami lakukan dengan memberikan informasi ke tamu, agar mengambil makanan secukupnya. Namun ketika ada sisa, kami manfaatkan untuk beberapa hal yang bisa kontribusi ke peternakan,” kata Khuswatus Solikhin, Cluster Hotel Manager Favehotel Solo.
Namun, upaya ini masih jauh dari cukup. Sebagian besar hotel dan restoran di Indonesia belum memiliki sistem pengelolaan khusus untuk mengurangi food loss dan food waste. Banyak yang masih berkutat di tataran pemilahan sampah, belum sampai pada pengolahan berkelanjutan.
Suara dari Balik Gerobak Sampah
Wisnu, 53 tahun, petugas kebersihan UPK Monas, adalah salah satu dari ratusan ribu pekerja yang tidak terlihat dalam keramaian tahun baru. Sejak Selasa sore, 31 Desember 2024, pukul 14.00, ia dan rekannya sudah mulai membersihkan kawasan agar pengunjung dapat menikmati perayaan dengan nyaman.
Alih-alih mendapat apresiasi, Wisnu justru “dihadiahi” sampah-sampah yang berserakan dari pengunjung. “Karena sudah tugas kita, kerjaan kita seperti ini. Enggak apa-apa, ya dikerjakan saja dengan ikhlas,” ungkap Wisnu.
Dia menyayangkan kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah tidak pada tempatnya sehingga menyulitkan kerja petugas kebersihan. Ada lebih dari 400 petugas kebersihan UPK Monas yang dibantu petugas dari Dinas Lingkungan Hidup bertugas membersihkan sampah di kawasan Monumen Nasional.
Surul, seorang pengunjung yang merayakan tahun baru di Bundaran HI, mengakui ironi di balik kemeriahan itu. Di sela kebahagiaan menyambut tahun baru, ia berharap kehidupan yang lebih baik. Namun, isu harga-harga yang melambung tinggi membuatnya harus merencanakan pernikahan dengan matang.
“Nanti dilihat dulu, apakah ada seserahan yang dikurangi. Yang penting, tahun ini menikah. Semoga nanti lancar. Kita mah, orang kecil. Jadi, semoga saja masa depan nanti tidak menyusahkan,” ujarnya sambil tertawa.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono memberikan apresiasi kepada para petugas kebersihan yang bekerja keras. “Atas nama seluruh warga Jakarta, saya mengucapkan terima kasih. Tanpa jasa kalian, lingkungan kita tidak akan sebersih dan senyaman ini,” kata Diaz.
Namun, di balik apresiasi itu, pertanyaan mendasar tetap menggantung: apakah cukup hanya dengan ucapan terima kasih? Bagaimana nasib ribuan petugas yang bekerja dalam kondisi minim perlindungan, upah yang tidak sebanding dengan beban kerja, dan risiko kesehatan yang mereka hadapi setiap hari?
Perayaan Ramah Lingkungan: Pelajaran dari Negara Lain
Beberapa negara telah mulai mengambil langkah progresif untuk mengurangi dampak lingkungan dari perayaan mereka. Di Korea Selatan, pertunjukan drone di udara saat malam tahun baru telah menggantikan kembang api tradisional. Di Kota Landshut, Jerman, yang sejak beberapa tahun melarang kembang api pada perayaan malam pergantian tahun, ditampilkan pertunjukan laser yang impresif.
Di Dublin, ibu kota Irlandia, pertunjukan laser telah menjadi alternatif yang lebih ramah lingkungan, meskipun masih dipadukan dengan pesta kembang api dalam skala terbatas. Di Indonesia sendiri, beberapa inisiatif mulai bermunculan. Gereja Katolik Hati Kudus Yesus di Kota Metro, Lampung, merayakan Natal 2025 dengan dekorasi ramah lingkungan. Pohon Natal setinggi dua meter disusun dari ban mobil bekas yang dicat hijau, dilengkapi lampu hias dan ornamen. Ada pula pohon Natal dari botol oli bekas, sabut kelapa, botol plastik, tudung saji, hingga limbah kayu.
Gereja Katedral Jakarta juga menghadirkan dekorasi Natal ramah lingkungan dengan menggunakan bahan daur ulang, memanfaatkan kembali patung-patung yang sudah ada, serta mengangkat wastra nusantara sebagai wujud cinta tanah air.
Namun, inisiatif-inisiatif ini masih bersifat sporadis dan belum menjadi gerakan masif. Belum ada regulasi pemerintah yang mengatur secara tegas tentang perayaan ramah lingkungan, baik dari sisi pengelolaan sampah maupun pengurangan food waste di sektor perhotelan.
Di Depok, sebuah perkumpulan bernama Creata menginisiasi gerakan Zero Waste Resto yang mendorong pemilik usaha hotel, restoran, dan kafe untuk menerapkan konsep restoran tanpa limbah. Namun, gerakan ini masih berkutat di tataran pengolahan limbah masakan, belum masuk terlalu jauh sampai ke pembuatan menu atau penggunaan produk daur ulang.
Ironi Perayaan: Kebahagiaan atau Kehancuran
Perayaan tahun baru adalah paradoks modern. Di satu sisi, ia merayakan harapan, kebersamaan, dan mimpi akan masa depan yang lebih baik. Di sisi lain, ia meninggalkan jejak kehancuran lingkungan yang justru mengancam masa depan itu sendiri.
Data dari penelitian global menunjukkan bahwa perayaan tahun baru hanya berlangsung beberapa jam, namun dampak lingkungannya dapat bertahan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Logam berat dari kembang api akan tetap berada di lingkungan, meracuni tanah dan air. Plastik sekali pakai akan membutuhkan ratusan tahun untuk terurai. Food waste dari hotel dan restoran tidak hanya mewakili pemborosan sumber daya, tetapi juga menghasilkan gas metana yang berkontribusi pada perubahan iklim.
Indonesia sendiri tengah menghadapi krisis sampah yang semakin parah. Pada April 2025, Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan Muhamad Mardiono mengungkapkan bahwa Indonesia menduduki peringkat keempat dalam kategori food loss and waste, dengan kerugian mencapai Rp 500 triliun per tahun.
Pertanyaannya bukan apakah kita harus berhenti merayakan tahun baru. Pertanyaannya adalah: bagaimana kita merayakannya dengan cara yang tidak mengorbankan lingkungan dan masa depan generasi mendatang?
Epilog: Pagi Bersih, Masa Depan Masih Suram?
Pukul 05.00 WIB, 1 Januari 2025. Jakarta sudah bersih kembali. Jalanan yang semalam penuh sampah kini tampak rapi. Truk-truk pengangkut sampah telah membawa 132 ton limbah perayaan ke tempat pembuangan akhir. Petugas kebersihan telah pulang ke rumah, lelah namun puas karena berhasil menyelesaikan tugas mereka.
Sugeng, yang sejak tengah malam membersihkan Kota Tua, akhirnya bisa beristirahat. Wisnu di Monas juga sudah selesai dengan shift malamnya. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang memastikan Jakarta bangun dengan wajah bersih di hari pertama tahun 2025.
Namun, kebersihan itu hanyalah ilusi. Sampah tidak hilang. Ia hanya berpindah tempat. Dari jalanan Jakarta ke TPA Bantar Gebang. Dari sungai-sungai ke lautan. Dari udara ke paru-paru kita.
Pertanyaan yang tersisa: sampai kapan kita akan terus merayakan dengan cara yang sama? Sampai kapan kita akan membiarkan petugas kebersihan sendirian menanggung beban dari kebiasaan konsumtif kita? Dan yang paling penting: apakah kita masih punya waktu untuk berubah?
Jangan Lewatkan Update Terbaru!
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel