112 Anak Jadi Korban, Teroris Pakai Game Online dan TikTok untuk Rekrut Pelajar
Ringkasan Penting
- Densus 88 ungkap lebih dari 110 anak usia 10-18 tahun di 23 provinsi direkrut jaringan terorisme JAD melalui media sosial dan game online sepanjang 2025, meningkat drastis dari 17 anak pada periode 2011-2017.
- Modus grooming digital dilakukan bertahap: dimulai dari platform terbuka (Facebook, Instagram, game online), lalu kontak personal lewat WhatsApp/Telegram untuk indoktrinasi intensif di grup tertutup.
- Lima tersangka dewasa telah ditangkap di berbagai wilayah, dengan anak-anak korban ditangani sebagai korban (bukan pelaku) oleh PPPA, KPAI, Kemensos, dan stakeholder terkait, sementara Komdigi pertimbangkan blokir game yang langgar PP Tunas.
, JAKARTA – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengungkap fakta mengkhawatirkan tentang modus baru rekrutmen terorisme yang menyasar anak-anak dan pelajar. Sepanjang tahun 2025, lebih dari 110 anak berusia 10 hingga 18 tahun teridentifikasi telah direkrut oleh jaringan terorisme melalui platform digital.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, mengungkapkan temuan mencengangkan ini dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025). Menurutnya, para korban tersebar di 23 provinsi di seluruh Indonesia.
“Hingga saat ini, Densus 88 Antiteror Polri mencatat ada sekitar 110 anak-anak yang memiliki usia antara 10 hingga 18 tahun, tersebar di 23 provinsi yang diduga terekrut oleh jaringan terorisme,” ujar Trunoyudo.
Angka ini meningkat drastis dibandingkan periode 2011-2017 yang hanya tercatat 17 anak terpapar. Lonjakan signifikan ini menunjukkan adanya upaya rekrutmen masif yang memanfaatkan kemajuan teknologi digital.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Eddy Hartono, menambahkan bahwa jaringan terorisme Jamaah Ansharut Daulah (JAD) menjadi aktor utama di balik modus perekrutan ini. Mereka memanfaatkan berbagai platform digital mulai dari game online hingga media sosial.
“Jaringan teroris bernama Jamaah Ansharut Daulah melakukan rekrutmen terhadap anak-anak di bawah umur melalui media game online atau media YouTube,” ungkap Eddy di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Senin (1/12/2025).
Juru Bicara Densus 88 Antiteror, AKBP Mayndra Eka Wardhana, merinci bahwa modus penyebaran propaganda dilakukan secara bertahap dan terstruktur. Awalnya, para pelaku menyebarkan konten melalui platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan game online yang memiliki fitur chat.
“Adapun modus penyebaran propaganda dilakukan secara bertahap. Propaganda pada awalnya didiseminasi melalui platform yang lebih terbuka seperti Facebook, Instagram, dan game online,” papar Mayndra.
Setelah anak-anak mulai terpapar dan menunjukkan ketertarikan, pelaku kemudian menghubungi mereka secara personal melalui aplikasi pesan tertutup seperti WhatsApp atau Telegram. Di sinilah proses indoktrinasi yang lebih intensif dimulai.
“Kemudian setelahnya mereka yang dianggap target potensial akan dihubungi secara pribadi atau japri. Melalui platform yang lebih tertutup seperti WhatsApp atau Telegram,” jelasnya.
Proses grooming digital ini dimulai dengan pendekatan yang tidak langsung menyentuh ideologi terorisme. Para pelaku terlebih dahulu membangun kedekatan emosional dengan cara membuat anak-anak tertarik, kemudian mengajak mereka bergabung dalam grup yang lebih privat dan kecil.
“Dari awal memang tidak langsung menuju kepada ideologi terorisme, tetapi anak-anak dibikin tertarik dulu, kemudian mengikuti grup, kemudian diarahkan kepada grup yang lebih privat, grup yang lebih kecil, dikelola oleh admin ini. Di situlah proses-proses indoktrinasi berlangsung,” ujar Mayndra.
Dalam grup tertutup tersebut, para pelaku mulai menanamkan paham radikal dengan menggunakan pendekatan keagamaan. Salah satu jebakan yang sering digunakan adalah pertanyaan manipulatif seperti “Manakah yang lebih baik antara Pancasila dengan kitab suci?”
Trunoyudo menjelaskan bahwa kerentanan anak terpapar paham radikal dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial. Di antaranya adalah pengalaman bullying, status sosial broken home dalam keluarga, kurangnya perhatian orang tua, pencarian identitas diri, marginalisasi sosial, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama.
Densus 88 telah menangkap lima orang tersangka dewasa yang berperan sebagai perekrut dan pengendali komunikasi kelompok dalam tiga kali operasi sejak akhir Desember 2024 hingga 17 November 2025. Mereka ditangkap di berbagai wilayah termasuk Medan, Banggai, Sleman, Tegal, Sumatera Barat, dan Jawa Tengah.
Kelima tersangka tersebut adalah FW alias YT (47) asal Medan, LM (23) asal Banggai, PP alias BMS (37) asal Sleman, MSPO (18) asal Tegal, dan JJS alias BS (19) asal Agam. Menariknya, beberapa dari mereka merupakan “pemain lama” yang pernah menjalani proses hukum namun kembali melakukan aksi serupa setelah bebas.
“Atas peranannya merekrut dan memengaruhi anak-anak tersebut supaya menjadi radikal, bergabung dengan kelompok terorisme dan melakukan aksi teror,” jelas Trunoyudo.
Berkat intervensi Densus 88 bersama berbagai stakeholder, sejumlah rencana aksi teror berhasil digagalkan. Di antaranya adalah rencana serangan oleh anak di Banten pada akhir 2024, rencana aksi di Bali dan Sulawesi Selatan pada Mei 2025, serta upaya puluhan anak di berbagai provinsi yang hendak melakukan aksi teror sepanjang 2025.
Terhadap anak-anak yang menjadi korban rekrutmen, Densus 88 melakukan pendekatan dengan menempatkan mereka sebagai korban, bukan pelaku. Mereka ditangani bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Sosial, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya.
Merespons temuan ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah mempertimbangkan pemblokiran terhadap game online yang tidak mematuhi aturan Indonesian Game Rating System (IGRS) dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, menegaskan bahwa aturan dalam PP Tunas lebih komprehensif dibandingkan regulasi serupa di negara lain karena tidak hanya mengatur media sosial tetapi juga produk, layanan, dan fitur termasuk game online.
Kasus ini menjadi peringatan serius bagi orang tua untuk lebih waspada dan aktif mengawasi aktivitas digital anak-anak mereka. Penting bagi orang tua untuk membangun komunikasi terbuka, memberikan pendidikan literasi digital yang memadai, serta menanamkan pemahaman agama yang benar sejak dini.
Jangan Lewatkan Update Terbaru!
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel