Rubrikasi

Informasi

Ikuti Kami

RESIDU RESOLUSI: Mengapa 92 Persen Janji Tahun Baru Berakhir Sia-Sia?

MUCHLAS JAELANI
Bagikan:
Ilustrasi (Doc. RESOLUSI).

Ringkasan Penting

  • Sebagian besar resolusi tahun baru gagal bukan semata karena lemahnya individu, melainkan karena pola psikologis dan sosial yang tidak realistis, dengan 92 persen resolusi berakhir gagal dan puncak menyerah terjadi pada Jumat kedua Januari (“Quitter’s Day”).
  • Kegagalan ini justru menjadi fondasi model bisnis industri bernilai triliunan rupiah—mulai dari gym, buku self-help, aplikasi kebugaran, hingga makanan sehat—yang menggantungkan keuntungan pada konsumen yang membayar tetapi tidak bertahan.
  • Alternatif yang lebih manusiawi dan efektif sebenarnya ada, seperti resolusi yang spesifik, realistis, dan berorientasi proses, namun jarang dipromosikan karena bertentangan dengan kepentingan industri yang diuntungkan dari siklus harapan, gagal, lalu membeli kembali.

Resolusi.co, JAKARTA – Setiap 1 Januari, ritual yang sama terulang. Di seluruh Indonesia, jutaan orang menyusun daftar panjang resolusi: menurunkan berat badan, rajin olahraga, menabung lebih banyak, berhenti merokok, dan sebagainya, dan sebagainya. Media sosial dibanjiri unggahan penuh semangat dengan tagar #NewYearNewMe. Namun, statistik mengungkapkan realitas yang menyedihkan: 92 persen dari resolusi tersebut akan berakhir sebagai mimpi yang tak pernah terwujud.

Fenomena ini bukan sekadar kegagalan pribadi. Di baliknya, tersembunyi industri bernilai triliunan rupiah yang justru mengandalkan, bahkan mungkin mengharapkan, kegagalan tersebut terus terjadi.

Jumat Kedua Januari: Hari Menyerah Nasional

Data dari Drive Research mengungkapkan kronologi kehancuran resolusi yang mengikuti pola yang mengejutkan konsisten. Sebanyak 23 persen orang dewasa menyerah pada “Quitter’s Day”, atauJumat kedua di bulan Januari. Angka ini melonjak menjadi 43 persen pada akhir Januari. Ketika tahun baru memasuki kuartal kedua, hanya 8 persen yang masih bertahan.

“Resolusi tahun baru memiliki umur yang sangat pendek,” ujar Justin Hale, penasihat di perusahaan konsultan Crucial Learning, dalam wawancara dengan CBS News. “Masalahnya, orang tidak fokus pada perilaku spesifik yang perlu dijadikan kebiasaan. Mereka hanya mengandalkan niat.”

Di Indonesia, fenomena ini terkonfirmasi melalui penelitian Lembaga Kajian Psikologi Terapan Indonesia sepanjang 2024. Data menunjukkan 78 persen masyarakat urban Indonesia membuat resolusi tahun baru, namun hanya 23 persen yang berhasil mempertahankannya hingga akhir tahun, angka yang hampir identik dengan statistik global.

Psikolog klinis Terri Bly dari Ellie Mental Health menjelaskan fenomena psikologis di balik ritual ini. “Manusia membutuhkan simbol atau sinyal tertentu sebagai momentum untuk menyegarkan kembali hidup mereka,” katanya. “Namun, fenomena ini bukan sekadar kebutuhan personal, melainkan juga sebuah norma sosial.”

Anatomi Kegagalan

Penelitian Martin Oscarsson dari Department of Psychology, Stockholm University, Swedia, mengidentifikasi pola umum kegagalan resolusi. Faktor utamanya: orientasi pada penghindaran, bukan pendekatan positif.

“Ketika seseorang membingkai resolusinya secara negatif, seperti ‘berhenti merokok’, ‘tidak makan junk food’, dan sejenisnya, otak mengaktifkan amigdala,” jelas Oscarsson dalam penelitiannya yang dipublikasikan 2020. “Kata ‘tidak’ atau ‘dilarang’ menimbulkan tekanan. Seseorang akan lebih mudah stres dan frustasi, yang akhirnya melemahkan motivasi.”

Temuan ini didukung oleh studi neurosains terbaru dari Harvard Medical School 2024 yang mengungkapkan fakta mengejutkan. Kebiasaan baru membutuhkan waktu rata-rata 66 hari untuk tertanam dalam pola perilaku, bukan 21 hari seperti yang populer dipercaya selama ini.

Dr. Sabrina Romanoff, psikolog klinis dan anggota Penasihat Kesehatan Forbes, menambahkan dimensi lain. “Kita sering gagal karena berfokus pada hasil tertentu, misalnya berat badan yang tepat, bukan pada proses,” ujarnya. “Ketika hasil tidak segera terlihat, rasa lelah muncul lebih cepat dari motivasi.”

Survei Forbes Health 2024 mengkonfirmasi analisis ini. Rata-rata resolusi tahun baru hanya bertahan kurang dari empat bulan. Sebanyak 8 persen hanya bertahan sebulan, 21,9 persen dua bulan, 22,2 persen tiga bulan, dan 13,1 persen empat bulan.

Industri yang Bergantung pada Kegagalan

Ironi terbesar dari fenomena ini adalah bahwa, di tengah individu gagal mencapai resolusi mereka, segelintir industri justru meraup untung berlipat ganda. Dan mereka mengandalkan kegagalan itu terus terjadi.

Ambil industri fitness sebagai contoh. FIT HUB, gym terbesar di Indonesia dengan hampir 300.000 member tersebar di 100 lokasi, mencatat lonjakan pendaftaran yang konsisten setiap Januari. “Bali merupakan salah satu daerah strategis dalam ekspansi FIT HUB, dengan antusiasme masyarakat yang sangat positif,” kata Richardo Andhika, Head of Club Sales & Operations FIT HUB, dalam konferensi pers Januari 2025.

Namun, data internal industri fitness, yang tentu jarang dipublikasikan, mengungkapkan realitas berbeda. Lonjakan member baru pada minggu pertama Januari dapat mencapai 89 persen. Namun, seperti siklus tahunan yang sudah-sudah, angka ini akan menurun drastis menjelang akhir Februari.

“Ini adalah pola yang sangat bisa diprediksi,” ungkap seorang manajer senior gym premium di Jakarta yang meminta anonim. “Kami menargetkan pendaftaran maksimal di Januari, karena tahu sebagian besar member baru tidak akan bertahan hingga Maret. Model bisnis kami justru mengandalkan itu. Orang yang membayar membership tapi jarang datang.”

Perhitungan ekonominya sederhana namun mengejutkan. Jika sebuah gym memiliki kapasitas 200 orang per sesi, mereka bisa menjual membership kepada 500-700 orang. Sebagian besar tidak akan pernah menggunakan fasilitas secara rutin, memungkinkan gym beroperasi tanpa kelebihan kapasitas sambil tetap menerima pembayaran penuh.

Industri penerbitan buku self-help mengikuti pola serupa. “Penjualan buku pengembangan diri kami melonjak 156 persen sepanjang Desember 2024 dibanding bulan-bulan sebelumnya,” ungkap perwakilan dari salah satu penerbit besar di Jakarta yang enggan disebutkan namanya. “Kami tahu sebagian besar buku itu tidak akan pernah diselesaikan. Tapi itu bukan masalah kami. Yang penting, orang terus membeli setiap tahun.”

Platform digital fitness mencatat fenomena identik. Sepanjang Desember 2024, pendaftaran naik hingga 156 persen dibanding bulan-bulan sebelumnya. Namun, tingkat engagement (ukuran seberapa aktif pengguna menggunakan aplikasi) anjlok drastis setelah Februari.

Psikologi Konsumen yang Dieksploitasi

“Industri ini sangat memahami psikologi konsumen,” kata Phoebe, psikolog lulusan Universitas Indonesia yang aktif meneliti fenomena resolusi tahun baru. “Mereka tahu bahwa pergantian tahun menciptakan ilusi bahwa hidup akan otomatis berubah. Akibatnya, orang membuat komitmen finansial berdasarkan emosi dan motivasi sesaat, bukan berdasarkan rencana realistis.”

Vera Itabiliana Hadiwidjojo, psikolog yang dikutip Antara, menekankan bahwa kegagalan ini sebenarnya bisa dicegah. “Alih-alih hanya menargetkan ‘gaya hidup sehat,’ seseorang dapat menetapkan tujuan lebih konkret, seperti ‘berolahraga tiga kali seminggu’ atau ‘membaca dua halaman buku setiap hari.’ Resolusi yang jelas memudahkan individu dalam memantau progres mereka.”

Namun, industri fitness dan self-help justru tidak menginginkan konsumen yang terlalu spesifik atau realistis. “Semakin ambisius target mereka, semakin cepat mereka menyerah, dan semakin cepat mereka kembali membeli produk atau jasa kami tahun depan,” ungkap manajer pemasaran sebuah perusahaan suplemen kesehatan yang meminta anonim. “Ini adalah siklus yang menguntungkan.”

Follow the Money

Investigasi lebih lanjut mengungkap skala ekonomi di balik fenomena ini. Industri gym dan fitness Indonesia diprediksi mencapai pendapatan USD 8,7 miliar pada 2030, menurut proyeksi CEO DOOgether, Fauzan Gani. Dari angka tersebut, porsi signifikan berasal dari member yang membayar tapi tidak aktif.

“Model bisnis gym tradisional sebenarnya bergantung pada member pasif,” jelas Fauzan dalam wawancara dengan Merdeka.com. “Jika semua member datang secara rutin, fasilitas tidak akan mampu menampung. Sistem ini dirancang dengan asumsi mayoritas orang akan gagal mempertahankan komitmen mereka.”

Industri penerbitan buku pengembangan diri Indonesia mencatat penjualan tahunan mencapai ratusan miliar rupiah, dengan lonjakan konsisten setiap awal tahun. Platform kursus online melaporkan pola serupa: pembelian kursus melonjak di Januari, namun tingkat penyelesaian kursus hanya berkisar 5-15 persen.

Bahkan industri makanan sehat turut memanfaatkan fenomena ini. Penjualan produk diet dan makanan organik melonjak setiap Januari, namun kembali normal, bahkan turun, pada Maret dan April. “Kami merencanakan inventory dan promosi berdasarkan pola ini,” ungkap manajer marketing sebuah perusahaan makanan sehat terkemuka. “Ini adalah high season kami.”

Dampak Psikologis yang Terabaikan

Namun, di balik angka-angka industri yang menggiurkan, ada dampak psikologis yang jarang dibahas: kegagalan berulang dalam memenuhi resolusi dapat menggerus kepercayaan diri dan memicu perasaan bersalah yang berkepanjangan.

“Ketika seseorang gagal memenuhi resolusi tahun demi tahun, itu menciptakan narasi negatif tentang diri sendiri,” jelas psikolog Nadya Pramesrani. “Mereka mulai percaya bahwa mereka memang tidak mampu berubah, yang akhirnya menjadi self-fulfilling prophecy.”

Phoebe menambahkan bahwa resolusi tahunan tidak selalu harus tercapai sepenuhnya. “Ketidaktercapaian tujuan bukan berarti seseorang gagal atau tidak bernilai,” tegasnya. “Itu bisa mencerminkan proses pertumbuhan, perubahan prioritas hidup, atau meningkatnya kesadaran akan batas kemampuan diri.”

Namun, industri yang mengandalkan kegagalan resolusi tidak pernah mengomunikasikan perspektif ini. Sebaliknya, mereka terus mempromosikan narasi “new year, new me” yang menetapkan ekspektasi tidak realistis, memastikan siklus kegagalan, dan pembelian berulang, terus berlanjut.

Alternatif yang Jarang Ditawarkan

Beberapa akademisi dan praktisi mengusulkan pendekatan berbeda. Dr. Nathania Sutisna, SpGK, spesialis gizi yang banyak menangani kasus kegagalan diet, menekankan pentingnya metode yang “doable”, yaitu hal yang dapat dilakukan.

“Makannya saya selalu menyarankan ke semua orang itu, bahkan yang sehat juga ya kalau mau menjalankan diet yang sehat itu, yang penting satu doable, jadi yang harus bisa dilakukan,” ucapnya dalam wawancara dengan Detik.com Desember 2025.

Pendekatan SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) yang diperkenalkan George T. Doran sejak 1981 sebenarnya telah terbukti efektif. Namun, metode ini jarang dipromosikan oleh industri yang bergantung pada kegagalan konsumen.

“Jika konsumen terlalu terorganisir dan realistis, mereka akan berhasil,” ungkap konsultan bisnis yang pernah bekerja dengan beberapa gym besar di Jakarta. “Dan jika mereka berhasil, mereka tidak akan terus membeli produk atau jasa kami.”

Mengubah Paradigma

Menjelang 2026, pertanyaan kritis yang perlu diajukan: apakah kita perlu meninggalkan tradisi membuat resolusi, atau mengubah cara kita mendekatinya?

“Yang kita butuhkan adalah pendekatan yang lebih cerdas dan berkelanjutan,” kata akademisi dari Lembaga Kajian Psikologi Terapan Indonesia. “Resolusi bukan sekadar daftar keinginan, melainkan komitmen terhadap proses perubahan yang realistis.”

Data menunjukkan bahwa resolusi yang berhasil memiliki karakteristik tertentu: spesifik, terukur, dipecah menjadi langkah-langkah kecil, dan didukung oleh sistem, baik komunitas maupun teknologi.

Namun, informasi ini jarang sampai ke konsumen. Industri yang mengandalkan kegagalan resolusi memiliki anggaran pemasaran yang jauh lebih besar dibanding organisasi atau individu yang mempromosikan pendekatan realistis.

Kesimpulan

Fenomena kegagalan resolusi tahun baru adalah masalah kompleks yang melibatkan psikologi manusia, tekanan sosial, dan—yang jarang disadari—eksploitasi sistematis oleh industri bernilai triliunan rupiah.

Angka 92 persen bukan sekadar statistik. Itu adalah 92 persen harapan yang pupus, 92 persen tekad yang gagal, dan 92 persen kepercayaan diri yang terkikis. Namun, bagi industri tertentu, angka itu adalah fondasi model bisnis yang menggiurkan.

Ketika jam menunjuk pukul 00.00 pada 1 Januari 2026 nanti, jutaan orang Indonesia akan kembali menyusun daftar resolusi dengan semangat yang sama. Industri fitness, penerbitan, dan makanan sehat akan kembali meraup keuntungan berlipat ganda di Januari dan Februari.

Dan pada Jumat kedua di bulan Januari, “Quitter’s Day”, siklus itu akan terulang. Lagi.

Pertanyaannya bukan apakah kita harus berhenti membuat resolusi. Pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus menjadi bagian dari statistik 92 persen, atau kita akan mengubah cara kita mendekati perubahan dengan lebih realistis, lebih spesifik, dan lebih manusiawi?

Jawaban atas pertanyaan itu tidak akan ditemukan dalam promosi gym yang menjanjikan transformasi instan, atau buku self-help yang menjanjikan keajaiban. Jawaban itu ada pada pemahaman bahwa perubahan sejati adalah proses bertahap yang membutuhkan kesabaran, strategi yang realistis, dan yang paling penting, kesadaran bahwa kita tidak perlu menunggu 1 Januari untuk memulai.

📰

Jangan Lewatkan Update Terbaru!

Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel