Tahun Baru, Hati Baru, Hidup Baru

, Tahun baru datang lagi. Orang-orang ramai menyambutnya dengan berbagai cara. Ada yang merayakan dengan pesta. Ada yang tertawa. Ada yang memilih diam. Ada pula yang hanya memandang kalender, lalu berkata pelan dalam hati, ternyata hidup masih berjalan.
Di tengah hiruk pikuk itu, barangkali kita memang perlu berhenti sebentar dan menoleh ke dalam diri. Tidak untuk menumpuk resolusi. Tidak untuk memperbanyak rencana yang muluk-muluk. Pertanyaan yang lebih sederhana justru lebih penting. Selama setahun kemarin, kita sudah menjadi manusia seperti apa.
Pejabat yang memegang amanah mungkin perlu menengok kembali nurani dan tanggung jawabnya. Apakah jabatan sungguh dipakai untuk melayani, atau hanya untuk memperbesar pengaruh dan nama diri. Apakah keputusan yang diambil sungguh memihak rakyat, atau sekadar mengamankan kepentingan segelintir orang di sekelilingnya. Tahun baru tidak menuntut janji indah. Yang ia minta justru kejujuran untuk mengakui kekurangan, dan keberanian untuk memperbaikinya.
Para pengusaha yang mengejar keuntungan demi kelangsungan usaha, mungkin juga perlu melihat lebih dalam ke hati sendiri. Rezeki jangan hanya dipandang sebagai angka dan laba. Di balik setiap rupiah ada hak orang lain. Ada buruh yang menaruh harap. Ada keluarga yang menggantungkan hidup. Tahun baru bukan semata soal memperbesar usaha, tetapi juga memperluas kepedulian.
Para kiai, ustadz, dan siapa pun yang berbicara atas nama agama pun tidak berada di luar lingkar tafakur ini. Sudahkah ajaran Tuhan sungguh kita jadikan penuntun hidup, bukan sekadar bahan ceramah yang indah di telinga. Sudahkah nasihat yang kita ucapkan juga kita jalani dalam keseharian. Tahun baru seharusnya menjadi saat untuk merendah, bukan merasa paling benar.
Buruh yang bekerja dari pagi hingga malam, petani yang menanam dengan cemas karena bergantung pada cuaca dan harga, para pekerja kecil yang setiap hari hanya berharap cukup untuk bertahan hidup. Mereka mungkin tidak punya waktu untuk menulis resolusi panjang. Namun ketabahan mereka, kesungguhan mereka menjaga kehormatan hidup, adalah pelajaran besar bagi kita semua. Mereka tidak suka ribut, tidak banyak menonjolkan diri. Tapi dari tangan mereka, kehidupan kita tetap tersambung hari ke hari.
Ada pula orang-orang yang menjalani hidup dengan luka. Ada yang kehilangan orang tercinta. Ada yang kehilangan pekerjaan. Ada yang kehilangan semangat percaya pada dunia. Tahun baru bagi mereka mungkin bukan pesta. Hanya malam yang panjang dengan doa yang pelan, semoga esok hari tidak seberat kemarin. Mereka tidak butuh kata-kata manis. Mereka hanya butuh percaya bahwa hidup masih menyisakan harapan.
Pada akhirnya, tahun baru bukan soal ramai atau sepi. Bukan soal siapa yang paling bahagia atau paling kuat.
Tahun baru adalah soal keberanian melihat diri sendiri dengan jujur. Kita mungkin pernah salah. Pernah melukai. Pernah gagal. Namun selama kita masih mau memperbaiki diri, masih mau merendah, masih mau menjaga hubungan dengan sesama manusia dan dengan Tuhan, berarti kita masih punya alasan untuk melangkah.
Dan dari keberanian itu, kita bisa memulai hati baru. Hati yang lebih peka, lebih ikhlas, dan lebih terbuka untuk2 kehidupan yang lebih bermakna. Setiap langkah, setiap niat, setiap tindakan bisa menjadi cermin bagi siapa kita sebenarnya dan siapa yang ingin kita jadi. Tahun baru memberi kita kesempatan untuk menata ulang hati, sehingga kehidupan yang kita jalani menjadi lebih tulus dan manusiawi.
Jika tahun baru memberi kita sesuatu, mungkin bukan keajaiban besar. Yang ia berikan adalah kesempatan. Kesempatan untuk hidup lebih jujur. Lebih tulus. Lebih manusiawi.
Selamat menjalani tahun yang datang. Semoga kita tidak hanya menjadi orang yang pandai berbicara tentang kebaikan, tetapi sungguh-sungguh mengusahakannya dalam hidup kita sehari-hari.
Seluruh isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi hanya bertindak sebagai fasilitator publikasi dan tidak bertanggung jawab atas opini, data, atau klaim yang disampaikan.
✍ Kirim Tulisan