Rubrikasi

Informasi

Ikuti Kami

Youth Harmony: Literasi Kerukunan sebagai Modal Sosial Generasi Muda ketika Kerukunan di Persimpangan Zaman

MD
Oleh
Bagikan:
Sesi diskusi Youth Harmony Class Yogyakarta.

Resolusi.co, Indonesia hari ini berada di persimpangan yang genting. Di satu sisi, kemajemukan agama, suku, dan budaya yang menjadi identitas bangsa ini tetap kokoh sebagai narasi kebangsaan. Di sisi lain, praktik intoleransi, politisasi identitas, dan fragmentasi sosial semakin menguat, terutama di ruang digital yang menjadi habitat generasi muda. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita masih butuh kerukunan, melainkan bagaimana kerukunan itu diwariskan, dipelajari, dan dipraktikkan oleh generasi yang hidup dalam dunia yang sangat berbeda dari pendahulu mereka.

Awal Desember 2025, Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama meluncurkan program Youth Harmony dengan menyelenggarakan Harmony Class di Malang Raya dan Yogyakarta. Kegiatan di Malang Raya pada 2 Desember diikuti 828 pemuda, sementara di Yogyakarta dua hari kemudian tercatat 695 peserta lintas agama. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan tanda bahwa kerukunan masih dianggap penting oleh kaum muda, atau setidaknya, mereka masih mau hadir untuk mendengar tentangnya.

Kehadiran individu dalam acara Youth Harmony sejatinya tidak cukup. Seperti yang diingatkan oleh Robert D. Putnam dalam Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (2000), akan perlunya modal sosial, kepercayaan, dan jaringan antar kelompok. Tentu sja karena modal sosial tidak terbentuk secara otomatis hanya karena orang berkumpul. Modal sosial memerlukan interaksi yang bermakna, reciprocity, dan komitmen jangka panjang. Maka, program seperti Youth Harmony perlu dilihat bukan hanya dari jumlah peserta, tetapi dari kualitas interaksi yang dihasilkan dan keberlanjutan dampaknya.

Pilihan PKUB untuk menargetkan pemuda bukanlah kebetulan. Muhammad Adib Abdushomad, Kepala PKUB Kemenag RI, menyatakan bahwa generasi muda saat ini hidup di tengah arus informasi yang cepat, di mana potensi gesekan identitas dapat muncul setiap saat. Pemuda adalah kelompok yang paling rentan sekaligus paling potensial. Artinya mereka rentan terhadap propaganda ekstremisme dan disinformasi, tetapi juga potensial sebagai pembawa perubahan sosial.

Dalam teori perubahan sosial, pemuda sering dipandang sebagai “early adopters” yang menerima ide-ide baru lebih cepat daripada generasi sebelumnya. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Benedict Anderson dalam Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983), identitas kolektif, termasuk identitas kebangsaan yang inklusif, adalah konstruksi sosial yang harus terus-menerus direproduksi melalui narasi, ritual, dan pendidikan. Jika narasi yang mendominasi ruang publik pemuda adalah narasi permusuhan dan eksklusivitas, maka kerukunan tidak akan terwariskan dengan sendirinya.

Di sinilah pentingnya intervensi edukatif seperti adanya Harmony Class. Tentu saja karena program ini dirancang untuk memberikan literasi kerukunan kepada pemuda yang meliputi pemahaman tentang regulasi rumah ibadah (Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006), pengenalan Sistem Informasi Kerukunan (Si Rukun) sebagai alat deteksi dini konflik, dan praktik dialog lintas iman. Namun, pertanyaan kritisnya adalah, apakah literasi semacam ini cukup untuk mengubah sikap dan perilaku?

Harmoni dan Regulasi: Ketika Hukum Menjadi Arena Kontestasi

Salah satu aspek paling menarik dari program ini adalah penekanan pada pemahaman regulasi. M. Syafiq Qudsi, salah satu narasumber, menegaskan bahwa harmoni tercipta ketika regulasi dipahami bersama. Ia menjelaskan bahwa banyak persoalan bukan karena isi Peraturan Bersama Menteri (PBM), tetapi karena pemahamannya tidak seragam, ditambah kurangnya sosialisasi dan perbedaan tafsir antarpihak.

Pernyataan ini sangat krusial karena menyentuh paradoks regulasi kerukunan di Indonesia. PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah dimaksudkan untuk menjaga harmoni, tetapi dalam praktiknya sering menjadi instrumen yang justru menghambat kebebasan beragama, terutama bagi kelompok minoritas. Ketika regulasi tidak dipahami secara proporsional atau ketika ia diterapkan secara diskriminatif, maka regulasi justru menjadi sumber konflik, bukan solusi.

Dalam konteks ini, pemahaman yang mendalam tentang regulasi tidak bisa hanya berhenti pada hafalan pasal. Pemuda perlu diajak untuk memahami konteks sosio-historis munculnya regulasi tersebut, dilema-dilema yang menyertainya, dan bagaimana regulasi itu bisa diterapkan dengan cara yang adil. Seperti yang dijelaskan Amartya Sen dalam The Idea of Justice (2009), keadilan bukan hanya soal mengikuti aturan formal, tetapi juga soal bagaimana aturan itu diterapkan dalam konteks nyata untuk mengurangi ketidakadilan. Maka, edukasi regulasi dalam Harmony Class harus disertai dengan pendidikan kritis dan tahu kapan regulasi melindungi, dan kapan ia menindas.

Menarik untuk diketengahkan dengan berdasar laporan pelaksanaan Harmony Class terkait dinamika diskusi yang terjadi. Peserta aktif bertanya, berbagi pengalaman, dan menyampaikan pandangan mengenai dinamika keberagaman yang mereka hadapi sehari-hari. Sejumlah peserta menyinggung upaya dialog di tingkat lokal, sementara lainnya menyoroti bagaimana media sosial dapat menjadi pemicu kesalahpahaman antarumat beragama. Ini menunjukkan bahwa program ini tidak hanya bersifat transmisif (dari narasumber ke peserta), tetapi juga dialogis.

Namun, pertanyaan besarnya adalah apa yang terjadi setelah acara selesai? Apakah para peserta ini akan kembali ke komunitas mereka membawa semangat baru, ataukah mereka akan kembali ke rutinitas lama tanpa perubahan berarti? Hery Susanto, Kepala Bidang Bina Lembaga Kerukunan Agama dan Lembaga Keagamaan PKUB, menekankan bahwa suara pemuda sangat penting untuk memperkuat strategi pencegahan konflik. PKUB menjadikan aspirasi pemuda sebagai bagian dari penyusunan kebijakan. Namun, seberapa konkret aspirasi itu diterjemahkan menjadi kebijakan nyata?

Di sinilah keberlanjutan program menjadi krusial. Harmony Class merupakan tahapan awal dari rangkaian Youth Harmony 2026 yang akan dilanjutkan dengan kegiatan kerukunan di tingkat kabupaten/kota, dialog provinsi, dan temu nasional duta kerukunan. Desain berjenjang ini penting karena perubahan sikap tidak terjadi dalam sekali pertemuan. Namun, tantangannya adalah pada implementasi, apakah pemerintah daerah memiliki kapasitas dan komitmen untuk menjalankan program ini secara konsisten? Apakah ada mekanisme monitoring yang memastikan peserta benar-benar menjadi agen perubahan di komunitas mereka?

Refleksi Kritis: Kerukunan di Tengah Ketimpangan Struktural

Pengenalan Sistem Informasi Kerukunan (Si Rukun) dalam program ini adalah langkah progresif, tetapi juga mengandung risiko. Aplikasi berbasis teknologi untuk mendeteksi potensi konflik sosial keagamaan di masyarakat bisa sangat bermanfaat sebagai sistem peringatan dini. Namun, ia juga bisa disalahgunakan sebagai alat surveilans yang membatasi kebebasan berekspresi dan menargetkan kelompok tertentu.

Dalam era digital, data adalah kekuasaan. Siapa yang mengontrol data, siapa yang memutuskan apa yang dianggap “potensi konflik”, dan bagaimana data itu digunakan adalah pertanyaan-pertanyaan kritis yang harus dijawab secara transparan. Pemuda yang diajarkan menggunakan Si Rukun juga harus diajarkan prinsip-prinsip etika digital, hak privasi, dan akuntabilitas penggunaan data. Tanpa itu, teknologi yang dimaksudkan untuk menjaga kerukunan justru bisa menciptakan ketakutan dan kecurigaan.

Namun, ada satu dimensi yang belum banyak disentuh dalam diskusi tentang Youth Harmony, yaitu dimensi struktural. Konflik berlatar agama di Indonesia sering kali bukan hanya soal perbedaan teologi atau kurangnya literasi kerukunan, tetapi juga soal ketimpangan ekonomi, persaingan sumber daya, dan politisasi identitas oleh elite. Ketika sebagian besar pemuda tidak memiliki akses ke pekerjaan layak, pendidikan berkualitas, atau pelayanan publik yang memadai, maka betapa pun banyaknya pelatihan kerukunan yang mereka ikuti, frustasi sosial akan tetap mengancam harmoni.

Menteri Agama RI Prof Nasaruddin Umar menegaskan bahwa kerukunan tidak lahir dari perbedaan yang diabaikan, melainkan dari kesediaan untuk bertemu, berdialog, dan memahami satu sama lain. Pernyataan ini benar, tetapi juga perlu dilengkapi dengan pengakuan bahwa kerukunan tidak bisa dibangun di atas fondasi ketidakadilan. Dialog tanpa keadilan adalah dialog kosong. Maka, Youth Harmony harus dilihat sebagai bagian dari strategi yang lebih luas yang mencakup kebijakan ekonomi inklusif, reformasi pendidikan, dan penguatan institusi demokrasi.

Putnam dalam Bowling Alone mengingatkan bahwa modal sosial bisa terkikis oleh ketimpangan ekonomi dan isolasi sosial. Jika pemuda merasa terpinggirkan secara ekonomi dan politik, mereka akan mudah dimobilisasi oleh narasi identitas eksklusif yang menjanjikan keadilan, meskipun dalam bentuk permusuhan terhadap kelompok lain. Maka, investasi pada literasi kerukunan harus berjalan beriringan dengan investasi pada keadilan sosial.

Keberhasilan pelaksanaan Harmony Class di Malang Raya dan Yogyakarta adalah sinyal positif, tetapi bukan jaminan. Program ini baru langkah awal dalam perjalanan panjang membangun generasi muda yang berkomitmen pada kerukunan. Seperti yang dijelaskan Sen dalam The Idea of Justice, keadilan dan dalam konteks ini, kerukunan, bukan sesuatu yang dicapai sekali untuk selamanya, tetapi adalah proses terus-menerus yang memerlukan partisipasi aktif dan refleksi kritis.

Di sisi lain, PKUB optimistis bahwa semakin banyaknya pemuda yang terlibat akan memperkuat upaya menjaga kerukunan sebagai bagian dari gerakan bersama masyarakat. Optimisme ini perlu dijaga, tetapi juga harus disertai dengan realisme: program ini hanya akan berhasil jika didukung oleh kebijakan yang konsisten, kolaborasi lintas sektor, dan komitmen jangka panjang dari semua pihak.

Kerukunan adalah pilihan. Ia tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus diperjuangkan setiap hari, dalam setiap ruang, oleh setiap orang. Program Youth Harmony adalah salah satu arena perjuangan itu. Dan jika ada yang bertanya siapa yang akan merawat Indonesia di masa depan, jawabannya adalah: para pemuda yang hari ini duduk dalam Harmony Class, yang besok akan kembali ke komunitas mereka membawa pemahaman baru, bahwa kerukunan bukan hanya slogan, tetapi praktik hidup yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata.

 

📰

Jangan Lewatkan Update Terbaru!

Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel