Denny JA: Isu Tambang Guncang NU, Otoritas Moral Terancam!
Ringkasan Penting
- Pertama kali dalam sejarah modern NU, konflik kepemimpinan bersentuhan dengan isu konsesi tambang yang menyentuh akses kekayaan alam dan jauh lebih eksplosif dari perebutan posisi
- Otoritas simbolik NU yang dibangun puluhan tahun terancam terkikis jika organisasi terseret dalam tarik-menarik sumber daya alam, mengubah konflik dari struktural menjadi ujian integritas moral
- Kekuatan sejati NU justru lahir ketika keluar dari politik praktis dan kepentingan material lewat Khittah 1926, nasihat NU didengar karena kebijaksanaan bukan kekuasaan
, JAKARTA – Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Nahdlatul Ulama, konflik kepemimpinan tidak lagi sekadar soal perebutan posisi struktural, tetapi bersentuhan dengan isu ekonomi dan sumber daya alam.
Analis politik Denny JA dalam opini yang diunggah di laman Facebook pribadinya menyebut munculnya desas-desus konsesi tambang sebagai elemen baru yang mengubah warna konflik di tubuh organisasi Islam terbesar Indonesia.
Meski banyak tokoh NU menolak tegas dan isu belum terverifikasi sepenuhnya, desas-desus tentang konsesi tambang yang dikaitkan dengan tokoh tertentu tetap menyebar di ruang publik. Seperti asap tanpa api, isu ini hidup dan menciptakan warna baru dalam konflik antara KH Yahya Cholil Staquf dan KH Zulfa Mustofa.
Denny JA mengidentifikasi tiga alasan mengapa isu tambang sangat mengguncang NU. Pertama, ia menyentuh akses kekayaan alam, sesuatu yang jauh lebih eksplosif dari sekadar perebutan posisi struktural.
Kedua, jika NU terseret dalam pusaran tambang, kepercayaan moral umat ikut dipertaruhkan. Ketiga, konflik bukan lagi soal siapa ketua umum yang sah, tetapi apa yang sesungguhnya diperebutkan di balik layar.
“Kekuatan terbesar NU justru lahir ketika NU melepaskan diri dari cengkeraman politik praktis dan kepentingan material yang sempit,” tulis Denny JA.
Ketika NU berdiri di atas Khittah 1926, organisasi ini memegang otoritas simbolik yang membuatnya didengar bukan karena kekuasaan, tetapi karena kebijaksanaan.
Otoritas simbolik inilah yang menjadi kekuatan utama NU selama puluhan tahun. Para ulama NU dihormati bukan karena menguasai sumber daya ekonomi atau jabatan politik, tetapi karena kapasitas moral dan keilmuan mereka. Nasihat mereka didengar karena tidak terkontaminasi kepentingan duniawi.
Ketika otoritas simbolik itu terkikis oleh tarik-menarik sumber daya alam, yang terancam bukan hanya struktur organisasi, tetapi ruh jam’iyah itu sendiri.
“Konflik PBNU hari ini tak bisa hanya dibaca melalui AD/ART. Ia adalah ujian integritas moral di tengah menguatnya politik sumber daya alam di Indonesia,” tegas Denny JA.
Dalam konteks ini, konflik kepemimpinan PBNU menjadi cermin bagaimana organisasi keagamaan menghadapi godaan ekonomi politik.
Indonesia sebagai negara kaya sumber daya alam selalu menjadi arena perebutan kepentingan. Ketika organisasi sebesar NU yang selama ini menjadi benteng moral ikut terseret, implikasinya jauh melampaui urusan internal organisasi.
NU dengan lebih dari 90 juta pengikut memiliki pengaruh sosial dan politik yang sangat besar. Kepemimpinan NU yang bersih dari kepentingan material menjadi modal sosial yang sangat berharga bagi bangsa. Ketika modal sosial itu tergerus, yang hilang bukan hanya kepercayaan kepada NU, tetapi juga kepercayaan kepada institusi keagamaan secara umum.
Denny JA mengingatkan bahwa keputusan NU kembali ke Khittah 1926 pada era Gus Dur adalah momen penting yang menyelamatkan organisasi dari jebakan politik praktis. Ketika NU keluar dari kancah politik formal dan fokus pada peran sosial-keagamaan, justru di situlah kekuatan sejatinya ditemukan.
“Saat NU berdiri di atas Khittah, ia memegang otoritas simbolik yang membuatnya didengar bukan karena kekuasaan, tetapi karena kebijaksanaan,” tulis Denny JA.
Otoritas ini jauh lebih awet dan bermartabat ketimbang kekuasaan yang diperoleh lewat politik transaksional atau penguasaan sumber daya ekonomi.
Dalam sejarah NU yang panjang, organisasi ini berkali-kali menghadapi godaan kekuasaan dan ekonomi. Namun setiap kali NU memilih jalan moral ketimbang kepentingan sesaat, organisasi ini justru semakin kuat.
Sebaliknya, ketika NU terlalu dekat dengan kekuasaan atau kepentingan ekonomi tertentu, organisasi ini kehilangan independensi moralnya.
Konflik kepemimpinan yang disertai isu tambang menjadi ujian integritas baru bagi NU di era modern. Bagaimana organisasi ini menyelesaikan konflik akan menentukan apakah NU tetap menjadi mercusuar moral atau justru tergelincir menjadi aktor dalam perebutan sumber daya alam.
“Persatuan NU bukan hanya kebutuhan organisasi. Ia adalah kebutuhan Indonesia,” tulis Denny JA menutup analisisnya.
Ketika NU retak karena perebutan kepentingan material, yang hancur bukan hanya organisasi, tetapi juga salah satu fondasi kedamaian sosial dan Islam moderat Indonesia.
Sejarah akan mencatat bagaimana elite NU saat ini merespons ujian ini. Apakah mereka akan memilih jalan Khittah yang menjaga kemurnian moral organisasi, atau tergelincir pada godaan sumber daya alam yang mengikis otoritas simbolik NU.
Jutaan nahdliyin menunggu. Mereka menunggu NU yang tetap menjadi pelita moral bangsa, bukan sekadar pemain di gelanggang kekuasaan dan ekonomi. Otoritas simbolik yang dibangun puluhan tahun tidak boleh hancur karena kepentingan sesaat.
Jangan Lewatkan Update Terbaru!
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel