5 Tahun UU Cipta Kerja: PHK Melonjak, Kualitas Kerja Amblas, Negara Rugi Rp168 Triliun!

Ringkasan Penting
- Kualitas pekerjaan turun drastis sejak UU Cipta Kerja berlaku, pekerja tidak penuh naik dari 31,54% (2022) jadi 32,68% (2025), informalitas tetap tinggi di 57,80%, pertumbuhan ekonomi stagnan 5%.
- PHK melonjak 216% dalam 3 tahun terakhir, dari 25.114 orang (2022) jadi 79.302 orang (Januari-November 2025), tertinggi di Jawa Barat 17.234 orang, Jawa Tengah 14.005 orang, Banten 9.216 orang.
- Negara rugi Rp168,5 triliun akibat kebijakan batu bara jadi BKP tarif 0%, restitusi pajak naik 5.376,83% sejak 2021, taipan batu bara untung Rp25 triliun/tahun dari pengembalian pajak, penerimaan negara boncos Rp340 triliun.
, JAKARTA – Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah memasuki tahun kelima implementasinya. Namun, evaluasi menunjukkan hasil yang jauh dari ekspektasi pemerintah saat pertama kali meluncurkan regulasi kontroversial tersebut.
Kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia masih stagnan di kisaran 5 persen. Angka pemutusan hubungan kerja terus meningkat bahkan menunjukkan tren kenaikan yang signifikan sejak UU ini diberlakukan.
Di sisi lain, akibat implementasi ketentuan dalam UU Cipta Kerja, kas negara mengalami kerugian puluhan triliun rupiah karena lonjakan restitusi pajak sektor batu bara yang menjadi Barang Kena Pajak dengan tarif 0 persen.
Pada awalnya, pemerintah cukup yakin bahwa UU Cipta Kerja akan mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan menciptakan jutaan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Catatan Badan Pusat Statistik memang menunjukkan jumlah pekerja terus bertambah. Posisi penduduk bekerja mencapai 146,54 juta orang pada Agustus 2025.
Namun dari sisi kualitas pekerja justru terjadi penurunan secara proporsional. BPS mencatat bahwa jumlah pekerja penuh pada Agustus 2025 hanya tersisa 67,32 persen dari total tenaga kerja.
Sisanya sebesar 32,68 persen diisi oleh pekerja paruh waktu dan setengah pengangguran atau yang dikategorikan sebagai pekerja tidak penuh.
Proporsi pekerja tidak penuh ini mengalami peningkatan selama tiga tahun terakhir. Pada Agustus 2022, jumlahnya hanya mencapai 31,54 persen.
Angka pekerja tidak penuh sempat turun menjadi 31,08 persen pada Agustus 2023. Namun proporsi pekerja tak penuh kembali naik pada Agustus 2024 menjadi 31,93 persen. Puncaknya pada Agustus 2025, porsi pekerja tak penuh mencapai 32,68 persen.
Selain dari sisi kualitas pekerjaan, data BPS juga mencatat bahwa tingkat informalitas pekerja atau pekerja di sektor informal masih bertengger di atas 50 persen.
Bila membandingkan data pada era transisi politik antara tahun 2015 dan 2025, informalitas pekerja justru mengalami kenaikan sedikit dari 57,76 persen menjadi 57,80 persen.
Sejalan dengan penurunan kualitas pekerjaan, jumlah pemutusan hubungan kerja sejak berlakunya UU Cipta Kerja juga mengalami peningkatan drastis.
Data terbaru Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK sebanyak 79.302 orang sepanjang Januari hingga November 2025. Angka ini naik dibandingkan periode Januari-Desember 2024 yang hanya mencatat jumlah PHK sebesar 77.965 orang.
Artinya potensi jumlah orang yang terkena PHK pada 2025 akan mengalami kenaikan, karena data yang dipublikasikan oleh Kemnaker belum mencakup penghitungan bulan Desember 2025.
Jika dilihat dari trennya, angka PHK tahun 2025 adalah yang tertinggi sejak tahun 2022 atau dua tahun pasca implementasi UU Cipta Kerja. Pada tahun 2022 jumlah PHK mencapai 25.114 orang. Pada tahun 2023 jumlah pekerja yang terkena PHK melonjak menjadi 64.855 orang.
Menilik perincian data, Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus PHK tertinggi. Kemnaker mencatat total tenaga kerja yang kena PHK di Jabar sebanyak 17.234 orang sepanjang sebelas bulan 2025.
Jawa Tengah menempati posisi kedua PHK terbanyak secara nasional dengan jumlah 14.005 orang, disusul Banten dengan 9.216 pekerja.
Selanjutnya, di DKI Jakarta, sebanyak 5.710 pekerja terkena PHK, sedangkan Jawa Timur mencatatkan PHK sebanyak 4.886 pekerja.
Sejumlah provinsi yang termasuk dalam 10 besar jumlah PHK terbanyak adalah Kalimantan Timur di urutan keenam dengan 3.487 pekerja, disusul Sulawesi Selatan dengan 3.356 orang, Kepulauan Riau 2.750 orang, Riau 2.402 orang, serta Kalimantan Barat 2.262 orang.
UU Cipta Kerja juga dituding sebagai biang keladi dari penurunan kinerja penerimaan pajak akibat penetapan batu bara sebagai Barang Kena Pajak.
Pada tahun ini, shortfall atau selisih realisasi dari target penerimaan pajak dipastikan melebar.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah berulang kali mengeluhkan kondisi tersebut. Kontribusi batu bara terhadap penerimaan negara, khususnya pajak masih sangat minim. Ia bahkan menyebut bahwa net income dari batu bara bukannya positif malahan negatif.
“Jadi kita seperti sedang memberikan subsidi yang sudah untungnya banyak,” ujar Purbaya dalam rapat di Komisi XI DPR pada 8 Desember 2025.
Sebagai ilustrasi, sampai dengan akhir Oktober 2025, penerimaan pajak bruto sebelum memangkas restitusi tercatat sebesar Rp1.799,55 triliun.
Namun setelah dikurangi restitusi pajak dan implikasi dari faktor lain yang mempengaruhi kinerja setoran pajak seperti volatilitas harga komoditas, penerimaan pajak neto hanya tersisa sebesar Rp1.459,03 triliun.
Artinya terjadi gap alias kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp340,52 triliun akibat penarikan restitusi dan berbagai bentuk kebijakan lainnya.
Khusus batu bara, income loss akibat restitusi maupun pengembalian pendahuluan mencapai Rp25 triliun per tahun.
Besarnya restitusi dari sektor batu bara tidak bisa dilepaskan dari implementasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 4A dalam UU ini secara eksplisit memasukkan batu bara sebagai Barang Kena Pajak. Tarifnya pun hanya 0 persen.
Karena berstatus sebagai BKP, maka wajib pajak atau Pengusaha Kena Pajak memiliki peluang untuk mengkreditkan pajak masukan yang terkait dengan produksi hingga eksportasi batu bara.
Mereka bisa memperoleh restitusi atau pengembalian pendahuluan yang kini mekanismenya telah dipercepat, jika status pajak masukannya lebih besar dari pajak pengeluaran.
Namun karena tarif yang berlaku 0 persen, sementara PKP tetap membayar PPN selama produksi maupun proses eksportasi, maka otomatis akan terjadi lebih bayar karena pajak masukan lebih besar dibandingkan pajak keluaran.
Hal ini berarti pengusaha dan para taipan batu bara praktis akan memperoleh restitusi atau pengembalian pendahuluan.
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK terkait penerapan kebijakan perpajakan yang dokumennya diperoleh Bisnis, telah secara detail menggambarkan betapa besarnya lonjakan restitusi maupun pengembalian pendahuluan pasca perubahan status batu bara dari non-BKP menjadi BKP.
Hasil analisis BPK mencatat sejak pengaturan batu bara sebagai BKP di UU Nomor 11 Tahun 2020, pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran PPN meningkat secara signifikan.
Tahun 2021 bahkan naik sebesar 5.376,83 persen dari tahun 2020, dan tahun-tahun berikutnya terus mengalami peningkatan.
Sementara itu, total pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran PPN selama empat tahun periode 2021-2024 adalah sebesar Rp168,5 triliun, di mana Rp22,4 triliun atau 13,31 persen di antaranya dilakukan melalui pengembalian pendahuluan.
“Kita tidak menyejahterakan masyarakat, malah pengusaha batu bara yang untungnya lebih banyak,” kata Purbaya.
Jangan Lewatkan Update Terbaru!
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel