Jangan-Jangan Kita yang Salah

, Kita hidup di zaman ketika menyalahkan terasa lebih mudah daripada mengoreksi diri. Setiap persoalan cepat menemukan kambing hitamnya. Orang lain. Keadaan. Dunia yang dianggap tidak adil. Dalam hitungan detik, kita bisa menunjuk siapa yang salah tanpa perlu menengok ke dalam.
Hampir setiap konflik selalu kita mulai dengan keyakinan yang sama, aku benar, orang lain yang keliru. Kita menyusunnya rapi di kepala. Kita ceritakan dengan nada meyakinkan. Bahkan kadang kita ulangi berkali-kali, agar keyakinan itu terdengar sah di telinga sendiri.
Di titik itu, menyalahkan orang lain terasa jauh lebih mudah daripada mengoreksi diri. Lebih aman. Lebih cepat. Dan yang paling penting, tidak melukai harga diri kita.
Yang jarang kita lakukan justru berhenti sejenak dan bertanya, apakah mungkin ada kesalahan yang selama ini kita bela mati-matian, hanya karena ia melekat pada diri sendiri.
Ada satu kenyataan yang sering membuat manusia terdiam ketika akhirnya disadari. Betapa mudahnya melihat kekurangan orang lain dan betapa sulitnya menemukan cacat pada diri sendiri. Bukan karena kita tidak mampu, melainkan karena menyalahkan orang lain terasa jauh lebih aman daripada berani menegur diri sendiri. Dengan menyalahkan, ego terlindungi. Harga diri tetap berdiri. Kita tidak perlu berhadapan dengan rasa malu yang menyelinap diam-diam.
Perumpamaan yang sering dipakai mungkin terdengar remeh, bau ketiak. Sederhana, tetapi tepat sasaran. Orang lain merasakannya lebih dulu. Mereka yang berdiri di dekat kita mulai gelisah, mencari jarak, atau memilih diam. Sementara pemilik tubuh berjalan tanpa kecurigaan apa pun. Dunia tampak baik-baik saja, padahal ada sesuatu yang perlahan membuat orang menjauh.
Yang membuat perumpamaan ini tidak nyaman bukan karena ia kasar, melainkan karena ia jujur. Tidak ada orang yang suka diberi tahu bahwa dirinya mengganggu. Lebih mudah mengatakan orang lain terlalu sensitif daripada menerima kemungkinan bahwa ada sesuatu pada diri kita yang memang perlu dibenahi.
Kesulitan sesungguhnya muncul ketika ada seseorang yang mencoba mengingatkan. Satu kalimat jujur sering terdengar seperti serangan. Ego segera bangkit membela diri. Kita mendadak sangat cerdas mencari alasan, sangat piawai menyusun pembelaan, dan sangat lihai menunjuk kesalahan orang lain. Namun pada saat yang sama, kita gagap ketika harus bertanya, barangkali aku juga perlu berubah.
Di titik ini, manusia sering terjebak. Kita ingin diperbaiki, tetapi tidak ingin terlihat salah. Kita ingin dihargai, tetapi menolak mengakui bahwa ada bagian diri yang belum selesai. Maka menyalahkan orang lain menjadi jalan pintas yang tampak elegan. Ia menyelamatkan perasaan, meski diam-diam merusak kejujuran.
Kelemahan yang tidak diakui tidak hilang begitu saja. Ia menumpuk, lalu menjelma jarak. Jarak dengan keluarga yang mulai enggan bicara jujur. Jarak dengan sahabat yang memilih menjaga kata. Bahkan jarak dengan diri sendiri, ketika hati tahu ada yang keliru, tetapi mulut menolak mengaku.
Banyak hubungan retak bukan karena kesalahan besar, melainkan karena seseorang merasa selalu benar dan terlalu pintar membela diri. Teguran kecil yang seharusnya bisa memperbaiki keadaan justru berubah menjadi luka, karena diterima dengan penolakan dan amarah.
Ada orang yang merasa selalu diserang. Ada yang yakin dunia tidak pernah berpihak kepadanya. Padahal kadang dunia hanya sedang memberi tanda bahwa ada sesuatu pada diri kita yang perlu diperbaiki. Bukan demi orang lain, melainkan agar hidup kita sendiri terasa lebih ringan. Namun tanda itu sering kita abaikan, karena mengaku salah terasa lebih menyakitkan daripada terus merasa benar.
Mengakui kekurangan memang tidak pernah nyaman. Wajah memanas. Gengsi terasa terancam. Tetapi justru di situlah kedewasaan diuji. Bukan pada seberapa keras kita membela diri, melainkan pada seberapa jujur kita mengoreksi diri. Sering kali, yang kita tolak bukan karena teguran itu keliru, melainkan karena ia benar dan menunjuk tepat ke arah yang selama ini kita hindari.
Tidak ada yang salah dengan memiliki kekurangan. Itu bagian dari menjadi manusia. Yang keliru adalah ketika kita tahu ada yang perlu diubah, tetapi memilih menutup telinga, lalu sibuk menyusun kesalahan orang lain. Padahal perubahan tidak pernah dimulai dari menyalahkan, melainkan dari keberanian untuk mengakui.
Pada akhirnya, seseorang akan mengerti bahwa menerima kekurangan bukanlah kekalahan. Justru dari sanalah ia belajar berhenti sibuk menunjuk, dan mulai berani berkaca. Dari sana pula hubungan menjadi lebih jujur, hidup terasa lebih lapang, dan kita tidak lagi terlalu pintar menyalahkan orang lain, karena akhirnya cukup berani menyalahkan diri sendiri, untuk kemudian memperbaikinya.
Seluruh isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi hanya bertindak sebagai fasilitator publikasi dan tidak bertanggung jawab atas opini, data, atau klaim yang disampaikan.
✍ Kirim Tulisan