Rubrikasi

Informasi

Ikuti Kami

Kisah 1945: Warga Malaysia Kibarkan Merah Putih, Ingin Bergabung dengan Indonesia dalam Negara Indonesia Raya

N.F Mubarok
Bagikan:

Ringkasan Penting

  • Pertemuan Soekarno-Ibrahim Yaacob di Taiping pada Agustus 1945 melahirkan gagasan Negara Indonesia Raya yang mencakup Indonesia, Malaya, Singapura, Brunei, dan Kalimantan Utara, dengan warga Malaysia mengibarkan bendera Merah Putih.
  • Rencana kandas karena penolakan beberapa tokoh seperti Mohammad Hatta dan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dipercepat pada 17 Agustus 1945, lebih cepat dari jadwal Jepang 24 Agustus 1945.
  • Malaysia baru merdeka 12 tahun kemudian pada 31 Agustus 1957, sementara Ibrahim Yaacob harus mengubah arah perjuangan setelah gagasan persatuan dengan Indonesia tidak terwujud.

Resolusi.co, JAKARTA – Tidak banyak yang mengetahui bahwa Indonesia dan Malaysia pernah sangat dekat untuk bersatu di bawah satu pemerintahan pada delapan dekade silam. Rencana ambisius untuk membentuk Negara Indonesia Raya hampir terwujud, bahkan warga Malaysia telah mengibarkan bendera Merah Putih sebagai simbol persatuan. Namun, gagasan besar itu akhirnya kandas meskipun telah ada kesepakatan awal di antara para tokoh nasionalis kedua kawasan.

Kisah bersejarah ini bermula pada 12 Agustus 1945, ketika tiga tokoh penting Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia—Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat—dipanggil ke Dalat, Vietnam, untuk menghadap Marsekal Terauchi. Panglima tertinggi militer Jepang di Asia Tenggara itu menjanjikan kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada 24 Agustus 1945.

Dalam perjalanan pulang dari pertemuan bersejarah tersebut, rombongan Soekarno singgah di Singapura sebelum melanjutkan ke Taiping, Perak, Malaysia. Di kota tersebut, mereka bertemu dengan dua tokoh nasionalis Melayu terkemuka, Ibrahim Yaacob dan Burhanuddin Al-Helmy, yang memimpin gerakan kemerdekaan Malaya dari penjajahan Inggris.

Ibrahim Yaacob dan Burhanuddin Al-Helmy adalah pemimpin organisasi Kesatuan Melayu Muda dan Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung yang aktif berjuang membebaskan Malaya. Pertemuan antara tokoh-tokoh Indonesia dan Malaya ini melahirkan gagasan revolusioner untuk membentuk Negara Indonesia Raya.

Konsep Negara Indonesia Raya yang diusulkan mencakup wilayah yang sangat luas, meliputi Indonesia, Malaya, Singapura, Brunei, dan Kalimantan Utara. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Graham Brown pada 2005, ide ambisius ini lahir dari hasil kolaborasi antara tokoh-tokoh nasionalis lokal dengan dukungan pihak Jepang yang pada waktu itu masih menguasai kawasan Asia Tenggara.

Dalam pertemuan penting tersebut, Soekarno menyampaikan visi persatuan dengan penuh semangat.

“Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka yang berdarah Indonesia,” ujar Soekarno.

Ibrahim Yaacob merespons dengan antusias dan komitmen yang kuat terhadap gagasan persatuan tersebut.

“Kami orang Melayu akan setia menciptakan tanah air dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka,” jawab Ibrahim Yaacob.

Namun, rencana besar penyatuan kawasan ini ternyata tidak mendapat persetujuan penuh dari semua pihak. Sejarawan Boon Kheng Cheah dalam bukunya yang berjudul “Red Star Over Malaya” yang diterbitkan tahun 1983 mengungkapkan kemungkinan adanya penolakan terhadap ide persatuan tersebut dari beberapa tokoh kunci.

Menurut Cheah, ada indikasi bahwa Mohammad Hatta dan beberapa tokoh lainnya tidak sepenuhnya menyetujui gagasan Indonesia Raya. Penolakan ini kemungkinan didasari berbagai pertimbangan strategis, politik, dan kemampuan untuk mengelola wilayah yang sangat luas dengan beragam budaya dan kondisi sosial-politik yang berbeda.

Dinamika politik regional berubah drastis ketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Kekalahan Jepang ini mengubah seluruh lanskap politik di Asia Tenggara dan membawa dampak signifikan terhadap rencana pembentukan Negara Indonesia Raya.

Situasi yang berubah cepat ini mendorong golongan muda di Jakarta untuk segera mendesak dilakukannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka khawatir momentum kemerdekaan akan hilang jika terus menunggu. Tekanan dari golongan muda ini memuncak dalam peristiwa Rengasdengklok, di mana Soekarno dan Hatta dibawa ke luar Jakarta untuk mempercepat proses proklamasi.

Setelah melalui drama Rengasdengklok dan perdebatan panjang, Indonesia akhirnya memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Proklamasi ini dilakukan lebih cepat dari jadwal yang direncanakan oleh Jepang, yaitu 24 Agustus 1945.

Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia lebih awal dari rencana, gagasan Negara Indonesia Raya pun otomatis kandas. Indonesia memilih untuk fokus mempertahankan dan membangun negaranya sendiri, sementara Malaya harus meneruskan perjuangan kemerdekaannya sendiri.

Ibrahim Yaacob, yang sebelumnya begitu antusias dengan gagasan Indonesia Raya, terpaksa mengubah arah perjuangannya. Ia harus menerima kenyataan bahwa persatuan dengan Indonesia tidak akan terwujud dan fokus pada kemerdekaan Malaya dari penjajahan Inggris.

Malaysia baru meraih kemerdekaan 12 tahun setelah Indonesia, tepatnya pada 31 Agustus 1957. Kemerdekaan ini diperoleh melalui perjuangan panjang dan jalur diplomasi dengan Inggris, sangat berbeda dengan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan secara sepihak dan harus dipertahankan melalui perjuangan fisik.

Sejarah hampir terlupakan ini menunjukkan betapa eratnya hubungan historis antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara memiliki akar budaya, bahasa, dan agama yang sama, sehingga gagasan persatuan pada masa itu bukanlah sesuatu yang mustahil atau mengada-ada.

Meski gagasan Negara Indonesia Raya tidak pernah terwujud, kisah ini tetap menjadi bagian penting dari sejarah kedua negara. Ia mengingatkan bahwa pernah ada masa ketika persatuan kawasan Nusantara dalam arti yang sesungguhnya hampir menjadi kenyataan, sebelum akhirnya terbagi menjadi negara-negara berdaulat yang kita kenal sekarang.

📰

Jangan Lewatkan Update Terbaru!

Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel