Rubrikasi

Informasi

Ikuti Kami

Peneliti UB Ungkap Lonjakan Rokok Ilegal Akibat Ketimpangan Kebijakan Cukai

N.F Mubarok
Bagikan:
Pemusnahan rokok ilegal oleh BEa Cukai (Isitmewa).

Ringkasan Penting

  • PPKE UB dorong pemerintah ambil keputusan cepat soal rokok ilegal seiring viral #StopRokokIlegal di media sosial.
  • Survei ungkap 55,3% perokok ilegal pilih rokok di bawah Rp1.000 per batang, kenaikan cukai tanpa pengawasan picu perpindahan konsumsi.
  • Hingga Oktober 2025, pemerintah lakukan 15.845 penindakan dan sita 954 juta batang rokok ilegal, naik 40,9% dari tahun lalu.

Resolusi.co, MALANG – Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya mendorong pemerintah segera mengambil keputusan terkait maraknya peredaran rokok ilegal di Indonesia. Lonjakan diskusi publik di media sosial dengan tagar #StopRokokIlegal dinilai sebagai sinyal kuat dari masyarakat yang semakin kritis terhadap kebijakan fiskal dan regulasi tembakau.

Direktur PPKE FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda, melihat fenomena viral di media sosial ini sebagai tekanan sosial kolektif agar pemerintah bergerak cepat memperkuat pengawasan dan menutup celah distribusi ilegal.

“Fenomena viral ini memperlihatkan bahwa masyarakat semakin kritis terhadap kebijakan fiskal dan regulasi tembakau yang dinilai tidak seimbang serta menimbulkan dampak ekonomi yang merugikan pemerintah dan industri hasil tembakau legal,” tegas Candra, Senin (1/12/2025).

Ia menjelaskan banyak pengguna Twitter menyoroti kenaikan tarif cukai yang tidak diikuti pengawasan distribusi yang memadai. Kondisi ini dinilai mempercepat perpindahan konsumsi ke rokok ilegal dan bukan mengurangi jumlah perokok.

Antusiasme publik meningkat setelah sejumlah akun pengguna Twitter mulai mengunggah dan membagikan temuan penting dari dokumen kajian PPKE FEB UB yang menyoroti dampak kebijakan tarif cukai terhadap perilaku konsumsi rokok di Indonesia.

“Antusiasme publik meningkat setelah sejumlah akun pengguna Twitter mulai mengunggah dan membagikan temuan penting dari dokumen kajian PPKE FEB UB yang menyoroti dampak kebijakan tarif cukai terhadap perilaku konsumsi rokok di Indonesia,” ujar Candra.

Kajian tersebut mengungkap bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai yang dilakukan secara agresif dalam beberapa tahun terakhir, tidak disertai dengan penguatan pengawasan distribusi di lapangan, sehingga memicu fenomena downtrading.

Alih-alih menurunkan prevalensi merokok seperti yang menjadi tujuan utama cukai, kebijakan tersebut justru menciptakan insentif ekonomi yang kuat bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk beralih ke rokok ilegal.

“Alih-alih menurunkan prevalensi merokok seperti yang menjadi tujuan utama cukai, kebijakan tersebut justru menciptakan insentif ekonomi yang kuat bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk beralih ke rokok ilegal, bukan berhenti merokok,” jelasnya.

Survei PPKE FEB UB 2025 menunjukkan mayoritas perokok ilegal sebesar 55,3 persen memilih rokok dengan harga sangat murah, di bawah Rp1.000 per batang. Kelompok ini juga mencatat konsumsi berat lebih tinggi, dengan 21,3 persen mengisap 19 batang atau lebih per hari.

Sebaliknya, perokok ganda yang mengonsumsi rokok legal sekaligus alternatif lain cenderung memiliki pola konsumsi ringan, yakni 1-6 batang per hari dengan persentase 47 persen. Dari sisi daya beli, perokok legal dan perokok ganda umumnya bersedia membayar Rp2.500-Rp3.499 per batang.

“Artinya, kenaikan harga rokok tidak serta-merta membuat perokok berhenti, melainkan lebih mendorong mereka mencari alternatif yang lebih murah,” jelas Candra.

Kajian juga menunjukkan kebijakan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau hampir setiap tahun belum efektif menurunkan angka prevalensi merokok yang stagnan di kisaran 28-29 persen pada periode 2024-2025. Kenaikan harga justru mendorong perokok mencari substitusi berupa rokok ilegal maupun elektrik.

Candra menegaskan, tanpa kebijakan yang lebih seimbang, risiko pergeseran konsumsi ke produk ilegal dan elektrik akan semakin besar. Hal ini dikhawatirkan tidak hanya menggerus stabilitas ekonomi nasional, tetapi juga menggagalkan tujuan kesehatan masyarakat.

Wacana yang berkembang di media sosial tidak hanya menjadi wadah ekspresi netizen, tetapi juga berfungsi sebagai tekanan sosial agar pemerintah memperkuat pengawasan, menutup jalur distribusi ilegal, serta menyusun kebijakan Industri Hasil Tembakau yang lebih seimbang.

Fenomena viral di media sosial ini bermula dari unggahan sejumlah pengguna yang menyoroti maraknya konsumsi rokok ilegal dengan harga sangat murah, bahkan kurang dari Rp1.000 per batang. Kondisi tersebut dinilai merugikan pemerintah dari sisi penerimaan cukai, sekaligus membahayakan masyarakat karena kandungan rokok ilegal tidak terjamin.

Dalam riset terdahulu PPKE FEB UB disebutkan peredaran rokok ilegal akan menurun seiring dengan meningkatnya penindakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Hasil analisis menunjukkan, adanya peningkatan penindakan yang dilakukan Bea Cukai terhadap rokok ilegal dapat menurunkan volume peredaran rokok ilegal secara signifikan.

“Saatnya pemerintah menyelamatkan industri rokok legal karena kalau enggak, tumbang semua, dan selesai juga penerimaan negara,” ucap Candra.

Pemerintah sendiri telah menunjukkan keseriusan dalam memberantas rokok ilegal. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebutkan hingga Oktober 2025, telah dilakukan 15.845 kali penindakan rokok ilegal dengan 954 juta batang rokok berhasil disita, tumbuh 40,9 persen dibandingkan tahun lalu.

Suahasil menilai hal ini menunjukkan sinyal keseriusan dari pemerintah untuk mengajak pabrikan rokok masuk ke dalam sistem yang legal dan menjadi bagian dari penerimaan negara.

“Kita berharap bahwa ini akan memberikan signal keseriusan dari pemerintah untuk mengajak seluruh pabrikan rokok itu masuk ke dalam sistem dan menjadi legal dan kemudian nanti juga ikut menjadi bagian dari penerimaan negara yang baik,” bebernya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (27/11/2025).

📰

Jangan Lewatkan Update Terbaru!

Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel