Rubrikasi

Informasi

Ikuti Kami

Ketimpangan Infrastruktur Pulau sebagai Bentuk Ketidakadilan Pembangunan

ACH. ATIKUL ANSORI
Bagikan:
Digenerate melalui AI (Doc. Resolusi).

Ringkasan Penting

  • Pulau Giliraja, Sumenep, masih menghadapi ketertinggalan infrastruktur dasar, mulai dari listrik yang bergantung pada PLTD, jalan antar dusun yang rusak, keterbatasan jaringan komunikasi dan internet, hingga minimnya fasilitas kesehatan, pendidikan, dan ruang publik.
  • Aliansi Mahasiswa Giliraja (AMG) menilai kondisi tersebut mencerminkan ketimpangan pembangunan wilayah kepulauan, akibat lemahnya perencanaan yang partisipatif, minimnya transparansi, serta lambannya respons pemerintah terhadap persoalan infrastruktur publik.
  • AMG mendorong perbaikan tata kelola dan kebijakan afirmatif bagi wilayah kepulauan, dengan tuntutan stabilisasi listrik, percepatan perbaikan jalan, pemerataan jaringan komunikasi, peningkatan fasilitas sosial, serta pelibatan aktif masyarakat dan pemuda dalam perencanaan pembangunan desa.

Resolusi.co, Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu indikator utama dalam menilai keberhasilan pembangunan daerah, khususnya dalam menjamin pemenuhan hak dasar masyarakat. Namun, dalam konteks wilayah kepulauan, pembangunan infrastruktur sering kali menghadapi tantangan struktural yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antara wilayah daratan dan pulau-pulau kecil. Kondisi ini juga terjadi di Pulau Giliraja, Kabupaten Sumenep, yang hingga saat ini masih menghadapi berbagai keterbatasan infrastruktur dasar.

Aliansi Mahasiswa Giliraja (AMG) menyoroti kondisi infrastruktur di empat desa yang berada di Pulau Giliraja, yang dinilai belum mengalami peningkatan signifikan. Permasalahan yang dihadapi meliputi keterbatasan pasokan listrik akibat ketergantungan pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), kondisi jalan antar dusun yang rusak dan sulit dilalui, belum meratanya jaringan komunikasi dan internet, serta minimnya fasilitas sosial seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan ruang publik. Keterbatasan tersebut berdampak langsung terhadap produktivitas ekonomi, akses layanan sosial, serta kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.

Dalam perspektif pembangunan, infrastruktur tidak dapat dipahami semata sebagai sarana fisik, melainkan sebagai prasyarat fundamental bagi keberlangsungan aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Ketidakstabilan listrik, misalnya, tidak hanya menghambat kegiatan rumah tangga, tetapi juga berdampak pada layanan pendidikan, fasilitas kesehatan, serta usaha ekonomi masyarakat. Demikian pula, kerusakan jalan dan keterbatasan jaringan komunikasi mempersempit akses informasi, distribusi barang, dan mobilitas sosial warga pulau.

AMG menegaskan bahwa persoalan infrastruktur di Pulau Giliraja mencerminkan adanya ketimpangan dalam pelaksanaan pembangunan desa. Pembangunan yang seharusnya berorientasi pada prinsip keadilan dan pemerataan justru masih menunjukkan kecenderungan terpusat dan belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan prioritas masyarakat kepulauan. Dalam konteks ini, masyarakat Giliraja kerap diposisikan sebagai pihak yang harus menyesuaikan diri dengan keterbatasan, alih-alih menjadi subjek utama pembangunan.

Lebih lanjut, AMG menilai bahwa lemahnya transparansi perencanaan pembangunan, minimnya pelibatan masyarakat, serta lambannya respons pemerintah terhadap gangguan listrik dan kerusakan fasilitas publik menjadi indikator adanya persoalan tata kelola pembangunan. Padahal, partisipasi masyarakat dan pemuda lokal dalam proses perencanaan dan pengawasan pembangunan desa merupakan elemen penting dalam mewujudkan pembangunan yang responsif terhadap kebutuhan riil masyarakat.

Ketimpangan infrastruktur di Pulau Giliraja juga dapat dipahami sebagai bentuk ketidakmerataan distribusi sumber daya pembangunan. Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, wilayah kepulauan seharusnya memperoleh perhatian khusus mengingat keterbatasan geografis dan aksesibilitas yang dimiliki. Tanpa kebijakan afirmatif dan perencanaan yang berbasis kebutuhan lokal, wilayah kepulauan berpotensi terus berada dalam kondisi marginal dan tertinggal.

Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, Aliansi Mahasiswa Giliraja menyampaikan sejumlah tuntutan yang mencerminkan kebutuhan mendesak masyarakat pulau. Tuntutan tersebut meliputi perbaikan dan peningkatan kapasitas PLTD agar pasokan listrik dapat beroperasi secara stabil selama 12 hingga 24 jam, percepatan perbaikan jalan antar dusun untuk menunjang mobilitas dan aktivitas ekonomi, pemerataan jaringan komunikasi dan internet, serta peningkatan fasilitas sosial seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan ruang publik. Selain itu, AMG menekankan pentingnya keterlibatan aktif masyarakat dan pemuda dalam proses perencanaan pembangunan desa.

Upaya advokasi yang dilakukan AMG tidak dimaknai sebagai sikap konfrontatif terhadap pemerintah, melainkan sebagai bentuk partisipasi kritis dalam mendorong pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Dalam kerangka demokrasi dan pembangunan partisipatif, kritik dan tuntutan masyarakat sipil justru menjadi instrumen penting dalam memperbaiki kualitas kebijakan publik.

Dengan demikian, permasalahan infrastruktur di Pulau Giliraja tidak hanya relevan dipahami sebagai persoalan teknis pembangunan, tetapi juga sebagai isu keadilan sosial dan tata kelola pemerintahan. Studi mengenai kondisi ini menjadi penting untuk mengkaji sejauh mana prinsip pemerataan, partisipasi, dan keadilan telah diimplementasikan dalam pembangunan desa, khususnya di wilayah kepulauan. Harapannya, pembangunan infrastruktur di Pulau Giliraja dapat diarahkan pada upaya yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan, sehingga masyarakat pulau memperoleh kesempatan yang setara untuk berkembang dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

⚠ DISCLAIMER

Seluruh isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi hanya bertindak sebagai fasilitator publikasi dan tidak bertanggung jawab atas opini, data, atau klaim yang disampaikan.

✍ Kirim Tulisan