Rubrikasi

Informasi

Ikuti Kami

ICW-Kontras Laporkan 43 Anggota Polri ke KPK atas Dugaan Pemerasan Rp26,2 Miliar

N.F Mubarok
Bagikan:

Ringkasan Penting

  • ICW dan Kontras melaporkan 43 personel Polri: (14 bintara, 29 perwira) ke KPK atas dugaan pemerasan Rp26,2 miliar dalam empat kasus berbeda periode 2022-2025.
  • Seluruh personel hanya menerima sanksi etik: dari Komisi Kode Etik Polri tanpa proses pidana, bahkan beberapa justru mendapat promosi jabatan setelah disanksi.
  • Koalisi mendesak KPK mengusut berdasarkan UU KPK: yang memberi wewenang menindak aparat penegak hukum, dengan kekhawatiran kasus serupa akan dinormalisasi jika hanya diselesaikan secara internal.

Resolusi.co, JAKARTA – Koalisi organisasi masyarakat sipil Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) resmi melaporkan 43 personel Kepolisian Republik Indonesia ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Selasa (23/12/2025). Laporan yang disampaikan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, menyangkut dugaan tindak pidana pemerasan dengan total nilai mencapai Rp26,2 miliar yang terjadi selama periode 2022 hingga 2025.

Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, merinci bahwa laporan tersebut mencakup empat perkara berbeda. Keempat kasus itu meliputi pemerasan dalam penanganan kasus pembunuhan, penyelenggaraan konser Djakarta Warehouse Project (DWP), pemerasan terhadap remaja di Semarang, Jawa Tengah, serta kasus jual beli jam tangan.

Dari 43 personel yang dilaporkan, komposisinya terdiri dari 14 anggota berpangkat bintara dan 29 berpangkat perwira. Wana menjelaskan bahwa keputusan membawa kasus ini ke KPK didasari pada fakta bahwa Komisi Kode Etik Profesi Polri telah menjatuhkan sanksi etik kepada seluruh personel tersebut, namun tanpa ada tindak lanjut proses hukum pidana.

“Ironisnya, meski 37 orang telah didemosi dan 6 lainnya dipecat secara etik, tidak ada satupun yang dikenakan tindak pidana pemerasan. Ini menciptakan standar ganda dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi ketika pelakunya berasal dari institusi penegak hukum,” tegas Wana.

Yang lebih mengkhawatirkan, beberapa personel yang telah menerima sanksi etik justru mendapat promosi jabatan. Wana menyebut salah satu perwira berinisial RI yang naik jabatan setelah menjalani sidang etik.

“Praktik ini menunjukkan sanksi etik gagal memberikan efek jera, bahkan berpotensi menjadi mekanisme normalisasi korupsi di tubuh APH,” ujarnya.

ICW dan Kontras mendasarkan laporannya pada Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK yang memberikan wewenang kepada lembaga antirasuah untuk menindak dugaan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan. Secara yuridis, perbuatan pemerasan yang dilakukan oknum kepolisian dinilai telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang penyalahgunaan kekuasaan untuk memaksa pembayaran.

Wana menegaskan bahwa jika KPK tidak menindaklanjuti laporan ini, koalisi menganggapnya sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum. “Kami khawatir kasus-kasus demikian akan dinormalisasi, sehingga pada akhirnya hanya dijadikan sebagai pelanggaran etik semata,” kata Wana.

Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya Saputra, menegaskan bahwa pelaporan ini merupakan upaya mendorong reformasi di tubuh kepolisian dan menjadi preseden positif dalam penegakan antikorupsi, antinepotisme, dan antipemerasan di Indonesia.

“Ini jadi salah satu upaya yang kami dorong supaya kepolisian bisa melakukan pembenahan dan juga kami mendorong KPK sebagai lembaga independen melakukan pengusutan,” ujar Dimas.

Keputusan tidak melaporkan kasus ini ke Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri diambil karena adanya kekhawatiran akan efektivitas penanganan internal, terutama mengingat fakta bahwa personel yang telah disanksi etik justru mendapat promosi.

📰

Jangan Lewatkan Update Terbaru!

Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel