Paradoks Pesona Kota Yogyakarta: Upah Terendah, Biaya Hidup Tertinggi Kedua Nasional
Ringkasan Penting
- UMP DIY 2026 ditetapkan Rp2.417.495, naik 6,78%, namun jauh dari KHL DIY yang mencapai Rp4,6 juta—tertinggi kedua nasional setelah Jakarta.
- Paradoks struktural: DIY memiliki biaya hidup mendekati Jakarta, tetapi upah minimum terendah di Pulau Jawa, menciptakan defisit ekonomi Rp1-2 juta per bulan bagi buruh.
- Ekonomi DIY bergantung pada pariwisata dan jasa dengan pasokan tenaga kerja melimpah, menekan daya tawar pekerja di tengah tingginya harga properti dan inflasi kebutuhan pokok.
, JOGJA – Yogyakarta memiliki wajah ganda. Di satu sisi, kota ini dirayakan sebagai destinasi wisata, ruang nostalgia, dan kota pelajar yang ramah. Di sisi lain, data terbaru mengungkapkan fakta mengejutkan: Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tertinggi kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta, meski upah minimumnya termasuk yang terendah di Pulau Jawa.
Pada 24 Desember 2025, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 sebesar Rp2.417.495. Angka ini naik 6,78 persen atau Rp153.414 dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp2.264.081. Penetapan ini mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan, dengan nilai alpha yang disepakati Dewan Pengupahan DIY berada di angka 0,8 dari rentang 0,5 hingga 0,9.
Namun, di balik angka kenaikan yang tampak positif itu, tersimpan paradoks struktural yang mengakar. Data Kebutuhan Hidup Layak (KHL) DIY tahun 2025 yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan mencatat angka Rp4.604.982 per bulan. Artinya, terdapat kesenjangan hampir Rp2,2 juta antara upah yang diterima pekerja dengan standar hidup yang seharusnya dapat mereka capai.
“DIY tertinggi kedua setelah DKI dari hasil KHL 2025,” tegas Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo saat mengumumkan Upah Minimum Kota (UMK) Yogyakarta 2026 sebesar Rp2.827.593—yang meski tertinggi di DIY, tetap jauh dari angka KHL.
Perbandingan dengan provinsi lain di Pulau Jawa semakin memperjelas ketimpangan ini. KHL Banten tercatat Rp4.295.000, Jawa Barat Rp4.122.000, Jawa Tengah Rp3.512.997, dan Jawa Timur Rp3.575.000. DIY justru memiliki KHL lebih tinggi dibanding empat provinsi tersebut, padahal tidak memiliki kawasan industri besar seperti mereka.
Sementara itu, data garis kemiskinan BPS DIY tahun 2025 menunjukkan angka Rp626.363 per kapita per bulan. Dengan asumsi satu rumah tangga terdiri dari empat orang, maka keluarga dikategorikan miskin jika pengeluarannya di bawah Rp2.505.452 per bulan. UMP DIY yang Rp2.417.495 berarti seorang buruh lajang pun hanya berjarak tipis dari garis kemiskinan, apalagi buruh yang menopang keluarga.
Kontras yang mencolok terlihat ketika dibandingkan dengan kota-kota besar lain. Kota Surabaya menetapkan UMK 2026 sebesar Rp5.288.796 dengan garis kemiskinan Rp775.579 per kapita atau sekitar Rp3,1 juta per rumah tangga. Dengan KHL Jawa Timur yang lebih rendah dari DIY, buruh di Surabaya memiliki ruang fiskal jauh lebih luas untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas hidup.
Bahkan DKI Jakarta, meski memiliki KHL tertinggi nasional sebesar Rp5.898.511, menetapkan UMP 2026 di angka Rp5,4 juta lebih. Masih lebih dekat dengan standar hidup layak dibanding DIY. Di Jawa Barat, UMK Bekasi mencapai Rp5.992.931, sementara Bandung dan Karawang juga berada di kisaran Rp5 jutaan.
“Realitas di DIY menunjukkan adanya ketimpangan serius antara kenaikan upah dan biaya hidup riil. DIY menghadapi paradoks struktural sebagai daerah dengan label upah murah tetapi biaya hidup tinggi,” ujar Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, Irsad Ade Irawan.
Struktur ekonomi DIY menjadi kunci memahami paradoks ini. Berdasarkan data distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY triwulan III-2025, sektor penyediaan akomodasi dan makan minum serta jasa lainnya menyumbang 12,93 persen terhadap perekonomian daerah. Pariwisata menjadi penggerak utama yang menarik jutaan wisatawan setiap tahun dan menghidupkan hotel, restoran, serta jasa transportasi.
Di sisi lain, DIY juga menjadi magnet pendidikan dengan ratusan ribu mahasiswa dari seluruh Indonesia. Status sebagai kota pelajar ini menciptakan pasokan tenaga kerja yang melimpah. Mayoritas adalah pekerja sektor informal, buruh lepas, dan pegawai dengan upah rendah. Kelimpahan tenaga kerja ini, tanpa disadari, menekan daya tawar pekerja dalam negosiasi upah.
Berbeda dengan Jawa Tengah atau Jawa Timur yang memiliki kawasan industri manufaktur padat karya, DIY tidak memiliki zona industri besar yang menyerap banyak tenaga kerja dengan upah terstruktur. Sektor pariwisata dan jasa yang mendominasi justru cenderung bergantung pada pekerja musiman dan sistem upah fleksibel yang tidak memberikan jaminan kesejahteraan jangka panjang.
Tingginya biaya hidup di Yogyakarta bukan tanpa alasan. Harga properti dan sewa tempat tinggal di kawasan strategis seperti sekitar kampus, Malioboro, atau Jalan Kaliurang terus melambung. Permintaan yang tinggi dari mahasiswa, wisatawan, dan pendatang membuat harga tanah naik drastis dalam satu dekade terakhir.
Komponen lain dalam KHL seperti pangan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi juga mengalami inflasi tahunan. Yogyakarta yang semula dikenal sebagai kota dengan biaya hidup murah, kini berubah menjadi kota dengan daya beli yang semakin tertekan.
Survei internal MPBI DIY pada 2023 mencatat nilai KHL riil di lima kabupaten/kota berkisar antara Rp3,1 juta hingga Rp4,1 juta. Kota Yogyakarta memiliki KHL tertinggi sebesar Rp4.131.970, disusul Kabupaten Sleman Rp4.099.637, Bantul Rp3.708.600, Kulon Progo Rp3.590.617, dan Gunungkidul Rp3.169.966.
Dengan UMK yang masih berkisar Rp2,4 juta hingga Rp2,8 juta, defisit ekonomi yang dialami buruh di setiap kabupaten/kota berkisar antara Rp1,1 juta sampai Rp1,9 juta per bulan.
“Hal ini membuat buruh di DIY tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya lantaran pendapatan yang lebih kecil dari pengeluaran,” kata Irsad.
Penetapan UMP dan UMK 2026 kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Formula baru yang ditetapkan pemerintah pusat melalui PP 49/2025 menggunakan variabel inflasi provinsi, pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota, dan indeks alpha. Variabel KHL juga telah terintegrasi dalam rumus, meskipun survei KHL tidak lagi dilakukan di tingkat daerah, melainkan ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan standar International Labour Organization (ILO).
Sekretaris Daerah DIY Ni Made Dwipanti Indrayanti menjelaskan bahwa penetapan UMP 2026 berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan DIY yang terdiri dari unsur serikat pekerja, pengusaha, pemerintah, dan akademisi.
“Kita mengambil alpha 0,8. Yang paling tinggi mungkin dari kota ya 0,83. Karena alpha itu dari sisi pertumbuhan ekonominya, mempengaruhi daya beli masyarakat juga, dengan daya saing,” kata Made.
Dewan Pengupahan DIY sempat menginisiasi penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) untuk sektor konstruksi dan transportasi. Namun setelah kajian mendalam, Wakil Ketua Dewan Pengupahan DIY dari unsur akademisi UII, Priyonggo Suseno, menyatakan penerapan UMSP dinilai belum tepat untuk dilaksanakan pada 2026 karena tantangan struktural di kedua sektor tersebut.
Meski formula pengupahan nasional telah memperhitungkan KHL, serikat buruh menilai kebijakan ini masih jauh dari prinsip keadilan substantif.
“Kebijakan yang tampak adil secara prosedural namun menghasilkan ketidakadilan substantif tetap merupakan pelanggaran terhadap prinsip upah layak. Negara dan pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas upah layak,” tegas MPBI DIY dalam pernyataan resminya.
Tingginya KHL DIY menuntut minimal 1,4 orang bekerja per keluarga (rata-rata tiga anggota) untuk mencapai standar layak. Artinya, satu penghasilan saja tidak cukup. Pasangan suami-istri harus sama-sama bekerja, dan bahkan itu pun belum mencukupi jika ada tanggungan anak atau orang tua.
“Dari hasil survei kami, UMP/UMK DIY yang layak berada di sekitar Rp4 juta, atau setidaknya UMK harus naik minimal 50 persen agar buruh tidak terus terjebak dalam kemiskinan struktural. Ini bukan angka asal bicara, ini adalah angka kebutuhan dasar, angka martabat manusia,” kata Irsad.
Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo menyadari kekhawatiran ini. “Yang perlu kita waspadai, jangan sampai batas kemiskinan ikut naik terlalu tinggi,” ujarnya.
Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta, Maryustion Tonang, menjelaskan bahwa melalui nilai alpha, kebutuhan hidup layak diharapkan dapat tercermin dalam penetapan upah sesuai amanat PP Nomor 49 Tahun 2025.
Namun bagi buruh, penjelasan teknis tentang formula dan alpha tidak mengubah kenyataan di lapangan: gaji masih jauh dari cukup.
Penetapan UMP dan UMK tahun 2026 di DIY mencerminkan dilema yang dihadapi banyak daerah di Indonesia: bagaimana menyeimbangkan kepentingan pekerja, pengusaha, dan daya saing ekonomi daerah.
Di satu sisi, kenaikan upah terlalu tinggi dapat membebani pengusaha kecil dan menengah, terutama di sektor pariwisata dan jasa yang margin keuntungannya tipis. Di sisi lain, upah yang terlalu rendah membuat pekerja tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dan terjebak dalam siklus kemiskinan.
Pemerintah daerah mengklaim telah mengikuti parameter yang ditetapkan pemerintah pusat dan menyeimbangkan kepentingan semua pihak. Namun, data menunjukkan bahwa keseimbangan itu belum tercapai, setidaknya bagi pekerja.
Yogyakarta tetap menjadi kota yang dicintai, dikunjungi, dan diimpikan banyak orang. Namun bagi ribuan buruh yang bekerja di hotel, restoran, toko, pabrik kecil, dan sektor informal, kota ini adalah medan perjuangan harian untuk bertahan hidup.
Ketika wisatawan menikmati angkringan dengan harga terjangkau, ketika mahasiswa menyewa kos dengan uang kiriman orang tua, dan ketika pengusaha menghitung margin keuntungan dari bisnis pariwisata, di sana, buruh dengan upah Rp2,4 juta sedang menghitung ulang: apakah uang ini cukup untuk makan, bayar kos, ongkos, dan mungkin menyisihkan sedikit untuk masa depan?
Paradoks Yogyakarta adalah paradoks Indonesia: pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, kesenjangan struktural yang mengakar, dan perjuangan untuk hidup layak yang terus berlanjut di balik pesona dan kemegahan yang ditampilkan ke dunia.
UMP DIY 2026 sebesar Rp2.417.495 bukanlah sekadar angka administratif. Ia adalah cermin ketimpangan, pertanyaan tentang keadilan, dan panggilan untuk mencari solusi yang lebih humanis, supaya kata “istimewa” dalam Daerah Istimewa Yogyakarta tidak hanya berlaku bagi wisatawan dan mahasiswa, tetapi juga bagi para pekerja yang menopang ekonomi kota ini setiap hari.
Jangan Lewatkan Update Terbaru!
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel