Polemik Harga DMO Batu Bara Stagnan Sejak 2018, Pengusaha Minta Evaluasi Ulang
Ringkasan Penting
- Harga DMO batu bara stagnan di US$70 per ton sejak 2018 meski biaya produksi meningkat signifikan dalam 7 tahun terakhir, termasuk kenaikan stripping ratio dan kewajiban biodiesel B40.
- Pemerintah tegaskan DMO sebagai kompromi kebijakan untuk menjaga pasokan dalam negeri dan mencegah pembengkakan subsidi listrik hingga Rp22 triliun jika harga dilepas ke pasar.
- Pelaku industri minta evaluasi harga DMO karena biaya produksi terus naik, sementara pemerintah berencana menaikkan kuota DMO lebih dari 25 persen pada 2026.
, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan bahwa tarif batu bara untuk keperluan domestik atau domestic market obligation yang bertahan di angka US$70 per ton sejak 2018 bukanlah keputusan tanpa pertimbangan. Angka tersebut merupakan hasil dari perhitungan komprehensif yang melibatkan berbagai aspek ekonomi dan industri.
Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Siti Sumilah Rita Susilowati, menekankan bahwa penetapan tarif tersebut sudah memperhitungkan keberlangsungan bisnis pertambangan dalam jangka panjang.
“Penetapan harga DMO sudah memperhitungkan aspek keberlanjutan usaha. Pemerintah selalu menimbang keseimbangan antara kepentingan nasional dan keberlanjutan usaha,” ucap Siti kepada Bisnis, Kamis (4/12/2025).
Menurut Siti, kebijakan tarif DMO dirancang sebagai instrumen strategis guna memastikan ketersediaan batu bara domestik, terutama untuk pembangkit listrik, tetap terjamin meski harga komoditas global terus berfluktuasi. Di sisi lain, pemerintah juga berupaya agar kebijakan ini tidak menghambat operasional perusahaan tambang.
“Karena itu, harga DMO merupakan bentuk kompromi kebijakan agar pasokan dalam negeri terjaga sekaligus kegiatan penambangan tetap berjalan,” jelas Siti.
Pejabat Kementerian ESDM itu menambahkan bahwa pemerintah rutin melakukan evaluasi terhadap struktur biaya operasional perusahaan tambang serta dinamika pasar internasional sebagai dasar peninjauan kebijakan DMO. Namun, setiap perubahan akan diterapkan dengan penuh kehati-hatian.
“Penyesuaian kebijakan akan dilakukan dengan cermat demi mencapai solusi yang menguntungkan semua pihak atau win-win solution,” katanya.
Perlu diketahui, sejak ditetapkan pada 2018, tarif DMO untuk sektor kelistrikan masih berada di level US$70 per ton, sementara untuk industri semen dan pupuk dipatok US$90 per ton. Angka ini tidak mengalami penyesuaian meski biaya produksi pertambangan meningkat dalam rentang waktu tujuh tahun terakhir.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, Gita Mahyarani, menilai stagnannya harga DMO selama hampir delapan tahun menciptakan tantangan bagi pelaku usaha, terlebih karena ongkos produksi terus merangkak naik.
“Harga DMO kelistrikan yang tetap di US$70 per ton sejak 2018 memang perlu ditinjau kembali atau setidaknya ada ruang evaluasi, terutama karena biaya produksi terus meningkat seiring dinamika industri selama 8 tahun terakhir,” tutur Gita.
Gita menanggapi kekhawatiran Kementerian Keuangan yang menyebut bahwa jika harga DMO batu bara mengikuti mekanisme pasar, subsidi listrik berpotensi membengkak hingga Rp22 triliun. Ia menyatakan bahwa pelaku industri memahami kondisi tersebut, namun dialog terkait penyesuaian harga perlu tetap dibuka.
“Pelaku usaha memahami pentingnya menjaga harga kelistrikan tetap realistis, namun yang diharapkan adanya ruang penyesuaian yang wajar mengingat harga DMO tidak berubah hampir delapan tahun,” katanya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Bisman Bhaktiar, berpendapat bahwa sebenarnya sudah waktunya dilakukan penyesuaian tarif DMO. Namun, kenaikan harga DMO akan menambah beban negara melalui PT PLN, sementara menaikkan tarif listrik akan membebani masyarakat.
“Jadi harga US$70 per ton tersebut sementara masih cukup moderat. Jadi untuk sementara menaikkan harga DMO cukup riskan dari aspek ekonomi dan sosial,” ucap Bisman kepada Bisnis, Kamis (4/12/2025).
Bisman menambahkan bahwa jika pengusaha menginginkan kenaikan tarif DMO, pemerintah justru berencana menaikkan kuota DMO hingga lebih dari 25 persen. Kondisi ini dinilai kurang menguntungkan bagi pelaku usaha dan belum mendesak dari sisi ketahanan energi.
“Sebaliknya jika pengusaha minta harga DMO naik, pemerintah justru mau kuota DMO naik lebih dari 25%. Ini juga tidak bagus bagi pelaku usaha dan belum urgen bagi ketahanan energi,” jelas Bisman.
Ketua Indonesian Mining & Energy Forum, Singgih Widagdo, menilai bahwa dalam kondisi ideal, tarif DMO batu bara memerlukan penyesuaian dengan mempertimbangkan kenaikan ongkos produksi tambang, konservasi cadangan, hingga dampaknya terhadap biaya listrik.
“Untuk ideal tentu mempertemukan kondisi kenaikan biaya produksi, dampak harga terkait konservasi cadangan, sisi hilir tentu dampak pada biaya pokok penyediaan PLN, daya beli masyarakat dan terakhir kemampuan APBN dalam menyubsidi PLN,” tutur Singgih.
Singgih memproyeksikan bahwa harga batu bara akan tetap lemah pada 2026 akibat penurunan konsumsi oleh China dan India. Sepanjang 2025, harga batu bara terus mengalami penurunan dengan Badan Pusat Statistik mencatat harga anjlok 21,57 persen secara tahunan menjadi US$110,46 per metrik ton pada kuartal III/2025.
“Demikian untuk 2026, proyeksi kondisi relatif sama dengan 2025, bahkan tidak ada alasan fundamental harga akan naik, bisa jadi fluktuasi harga akan sama dengan 2025. Harga terlihat berat untuk naik di atas US$120 per ton, bahkan di kisaran US$105 turun kembali, seperti terlihat pada HBA Desember sebesar US$98,26 per ton,” papar Singgih.
Ia melihat penurunan pasar global sampai 2030 tidak akan terlalu tajam, namun industri pertambangan batu bara akan merasakan dampak signifikan setelah 2030. Singgih mengingatkan pelaku usaha untuk melakukan efisiensi guna menekan biaya operasional.
“Yang harus dihindarkan justru tambang menghentikan tiba-tiba tambangnya, jelas ini akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang belum sempat direklamasi, termasuk ekonomi keberlanjutan yang tidak terbangun di wilayah tambang berada,” ucap Singgih.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Sudirman Widhy Hartono, berpendapat wacana perluasan porsi DMO dan pemangkasan produksi batu bara pada 2026 perlu dibarengi dengan revisi harga domestic price obligation. Sejak penetapan pada 2018, berbagai komponen biaya operasional telah meningkat, termasuk stripping ratio, kewajiban penggunaan biodiesel B40, serta lonjakan biaya logistik.
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025 kembali menegaskan pentingnya prioritas pasokan batu bara untuk kebutuhan domestik. Kebijakan DMO merupakan bagian dari tanggung jawab bersama pelaku usaha untuk mendukung kepentingan nasional dan menjaga ketahanan energi dalam negeri.
Jangan Lewatkan Update Terbaru!
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel