Rubrikasi

Informasi

Ikuti Kami

Polemik PPN Jasa Pendidikan: Ketika Sekolah Swasta Menjadi Bantalan Kegagalan Sekolah Negeri

MD
Oleh
Bagikan:
Ilustrasi Siswa SD (Dok. Istimewa).

Resolusi.co, Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Keuangan untuk memasukkan Jasa Pendidikan Sekolah Swasta ke dalam objek kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% telah memantik reaksi publik yang masif dan viral. Reaksi ini bukan sekadar keluhan atas kenaikan biaya, melainkan representasi dari kecemasan kelas menengah Indonesia yang merasa terdesak. Mereka dipaksa membayar biaya tinggi untuk kualitas pendidikan yang memadai, lalu dibebani lagi oleh pajak negara.

Pemerintah berdalih bahwa kebijakan ini bertujuan mengoptimalkan penerimaan negara dan menciptakan keadilan pajak, dan pendidikan dianggap sudah bukan lagi barang yang perlu dibebaskan dari pajak. Maka narasi tersebut berbenturan keras dengan realitas di lapangan. Realitas itu adalah kegagalan sistem pendidikan publik (negeri) dalam menampung dan menyediakan kualitas yang memadai bagi semua lapisan masyarakat.

Mengapa Kelas Menengah Memilih Sekolah Swasta?

Viralnya penolakan PPN ini tak terlepas dari latar belakang sosial-ekonomi yang kompleks. Sejak reformasi pendidikan, sekolah negeri, terutama di kota-kota besar, menghadapi dua masalah utama dan serius. Masalah pertama adalah keterbatasan daya tampung. Selain itu, sistem zonasi dan keterbatasan jumlah sekolah negeri berkualitas membuat orang tua berpenghasilan menengah terpaksa mencari alternatif lain.

Kedua, adalah variabel kualitas, dimana  kualitas pendidikan di sekolah negeri seringkali sangat bervariasi, dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur, rasio guru-murid yang padat, hingga minimnya inovasi kurikulum. Sayangnya, kedua masalah tersebut jarang mendapat perhatian serius dan diselesaikan hingga kini.

Kelas menengah kemudian menggunakan uangnya sendiri untuk menjamin masa depan pendidikan anak-anak mereka dengan memasukkan ke sekolah swasta. Sekolah swasta, dari yang berbiaya terjangkau hingga yang premium, berfungsi sebagai bantalan sosial yang menopang sistem pendidikan nasional dari overload dan penurunan kualitas masif.

Ketika pemerintah menetapkan PPN, artinya negara mengenakan pajak atas sebuah solusi yang disediakan sendiri oleh rakyat atas masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab utama negara. Artinya, negara gagal menjamin pendidikan masyarakatnya dan ditambah memiliki masalah di sektor pendidikannya, namun malah membebani dan melimpahkan masalah tersebut kepada rakyatnya.

“Ini adalah paradoks fiskal. Negara gagal menjamin kualitas pendidikan yang merata, tetapi ketika masyarakat berinisiatif mencari solusi dengan membayar biaya tinggi di sekolah swasta, negara justru menagih pajak dari biaya tersebut,” ujar Prof. Dr. Rina Kusumo, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM). “PPN ini terasa seperti pajak atas ketidakmampuan negara.”

Pertarungan Politik di Balik Angka APBN

Secara politik, kebijakan PPN ini tidak muncul dari ruang hampa. Ia adalah bagian dari upaya Kementerian Keuangan untuk memperkuat basis pendapatan negara di tengah kebutuhan mendesak untuk membiayai proyek-proyek strategis dan janji-janji politik pasca-Pemilu.

Keputusan menargetkan sektor jasa pendidikan swasta mengindikasikan bahwa pemerintah melihat sektor ini sebagai sumber penerimaan potensial yang besar, mengingat transaksi di sektor ini mencapai triliunan Rupiah per tahun.

Namun, pengenaan PPN ini berisiko menciptakan kesenjangan pendidikan yang semakin curam. Dengan kenaikan biaya 12%, sekolah swasta berbiaya menengah ke bawah (yang menjadi pilihan mayoritas) harus menaikkan SPP, yang pada akhirnya akan memaksa sebagian keluarga kelas menengah yang ekonominya pas-pasan untuk menarik anak mereka kembali ke sekolah negeri yang tidak mereka inginkan, atau bahkan menghadapi risiko anak putus sekolah.

Kelompok sekolah swasta premium mungkin bisa menyerap pajak tersebut tanpa menaikkan biaya secara signifikan, namun hal ini hanya akan memperlebar jurang antara kualitas pendidikan yang bisa diakses oleh the super-rich dan sisanya.

Masa Depan Pendidikan: Memilih Prioritas Fiskal

Meskipun desakan publik untuk membatalkan PPN jasa pendidikan sangat kuat, bola panas kini ada di tangan legislatif (DPR RI) yang harus melakukan pengawasan ketat terhadap implementasi kebijakan fiskal ini.

Jika pemerintah benar-benar ingin menciptakan keadilan, langkah yang lebih tepat seharusnya adalah dengan meningkatkan kualitas sekolah negeri dengan mengalokasikan dana pendidikan (20% APBN) secara lebih efektif untuk memodernisasi sekolah negeri dan meningkatkan kompetensi guru, sehingga sekolah negeri kembali menjadi pilihan utama.

Selanjutnya adalah dengan subsidi silang yang tepat, seperti jika PPN tetap harus diterapkan, ia harus disertai dengan skema Subsidi Silang yang memastikan dana PPN dari sekolah super-premium dialokasikan langsung untuk membantu biaya sekolah swasta di daerah tertinggal atau untuk beasiswa.

Viralnya penolakan PPN jasa pendidikan adalah alarm sosial yang harus didengar pengambil kebijakan. Ini bukan sekadar isu pajak, melainkan manifestasi ketidakpercayaan publik terhadap kualitas layanan dasar yang wajib disediakan negara. Kegagalan menanggapi polemik ini secara bijaksana berisiko mengorbankan masa depan generasi muda demi memenuhi ambisi angka APBN yang belum sepenuhnya adil.

📰

Jangan Lewatkan Update Terbaru!

Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel