Perbedaan Pandangan Soal Perpol 10/2025, Menkum: Dinamika Biasa dalam Demokrasi
Ringkasan Penting
- Menkum Akui Polemik: Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengakui adanya perbedaan pandangan antara Perpol 10/2025 dengan Putusan MK, namun menilai ini dinamika biasa dalam demokrasi.
- Mahfud MD Kritik Keras: Guru Besar Hukum Tata Negara Mahfud MD menyatakan Perpol 10/2025 bertentangan dengan Putusan MK dan UU ASN karena tidak ada dasar hukum konstitusional.
- Pro-Kontra Luas: Polemik memunculkan respons beragam dari DPR, aktivis, hingga pengamat—ada yang menilai konstitusional, ada yang menuntut pencabutan dan pemecatan Kapolri.
, JAKARTA – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas secara terbuka mengakui adanya polemik seputar Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Namun, Menkum menegaskan perbedaan pandangan tersebut adalah hal yang wajar dalam kehidupan demokrasi.
Pernyataan Supratman disampaikan saat ditemui wartawan di kantornya pada Kamis, 18 Desember 2025. Ia meminta agar semua pihak tidak memperdebatkan Perpol 10/2025 yang dinilai sejumlah kalangan mengangkangi putusan MK terkait Undang-Undang Kepolisian.
“Ada dinamika yang berkembang terkait dengan perbedaan cara memandang putusan MK, itu biasa-biasa saja enggak usah diperdebatkan,” terang Supratman.
Ia menyinggung perbedaan pendapatnya dengan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, Prof. Mahfud MD. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menilai putusan MK berlaku surut, sementara Supratman berpendapat sebaliknya.
“Seperti saya dengan Prof Mahfud pun berbeda pandangan kalau terkait dengan apa yang harus dilakukan terhadap sebuah putusan MK,” ujar Supratman.
Menkum menekankan bahwa Pemerintah Pusat maupun DPR RI tidak memiliki sentimen negatif terhadap putusan MK. Bahkan, pemerintah disebut tetap akan mengikuti aturan baru yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Supratman juga menyoroti persoalan lain yang muncul ketika hakim MK secara personal menafsirkan putusan yang telah dikeluarkan. Menurutnya, penafsiran atas putusan MK seharusnya sudah tertuang dalam putusan itu sendiri.
“Yang masalah itu kalau hakimnya, hakim mahkamah konstitusi sudah menyatakan resmi terkait dengan sebuah putusan, menjelaskan kepada publik sehingga tidak perlu ada tafsir, itu soal lain,” kata Supratman.
Di sisi lain, Menkum menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat prospektif atau berlaku ke depan. Menurut dia, sifat putusan MK itu juga tertuang dalam undang-undang tentang MK. Supratman tampak tidak menghiraukan pendapat pihak lain yang menyatakan putusan MK berlaku surut.
Meski demikian, Supratman menyadari bahwa publik semakin kritis terhadap dinamika hukum yang berkembang. Ia menyebutkan bahwa pemerintah dan DPR akan menyesuaikan dengan dinamika pembahasan Perpol tersebut.
“Apalagi percayalah, semakin hari publik semakin kritis,” ujarnya.
Terkait rencana menjadikan Perpol Nomor 10 Tahun 2025 sebagai salah satu materi penyusunan draf revisi Undang-Undang tentang Polri, Supratman menyatakan hal itu masih dalam tahap pembahasan.
Perpol tentang pelaksanaan tugas anggota Polri di luar struktur organisasi Polri, terutama di 17 kementerian dan lembaga, harus diatur dengan baik, baik dalam undang-undang maupun peraturan di bawahnya.
Polemik ini bermula dari penerbitan Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 yang ditandatangani Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 9 Desember 2025 dan diundangkan sehari kemudian. Perpol ini mengatur penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian pada 17 kementerian dan lembaga negara.
Mahfud MD, yang kini menjabat sebagai Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri, menilai Perpol 10/2025 bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Namun, ia menegaskan pernyataannya disampaikan sebagai akademisi dan pengajar hukum tata negara, bukan sebagai anggota Komisi Reformasi Polri.
“Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menurut putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, anggota Polri jika akan masuk ke institusi sipil, maka harus minta pensiun atau berhenti dari Polri. Tidak ada lagi mekanisme alasan penugasan dari Kapolri,” kata Mahfud dilansir dari ANTARA, Sabtu, 13 Desember 2025.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang dikeluarkan pada 14 November 2025 sebenarnya menghapus frasa dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang selama ini membuka celah bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil berdasarkan penugasan Kapolri. MK menilai frasa tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahfud menegaskan bahwa putusan MK tersebut telah menyatakan secara tegas anggota polisi aktif wajib mengajukan pensiun atau berhenti dari Polri apabila akan menduduki jabatan di institusi sipil.
Menurut Mahfud, Perpol 10/2025 juga bertentangan dengan Undang-Undang ASN yang mengatur bahwa pengisian jabatan ASN oleh polisi aktif diatur dalam UU Polri. Dalam UU Polri sendiri tidak mengatur daftar kementerian atau lembaga yang dapat diisi oleh anggota polisi aktif.
“Jadi Perpol ini tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya,” tegas Mahfud.
Ia juga menolak argumen bahwa Polri sebagai institusi sipil bebas menempatkan anggotanya di lembaga sipil lain. Mahfud mencontohkan bahwa meski sama-sama institusi sipil, dokter tidak bisa menjadi jaksa, dosen tidak boleh menjadi jaksa, dan sebaliknya. Prinsip profesionalitas tetap harus berlaku.
Namun, pandangan Mahfud mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 bersifat konstitusional dan tidak bertentangan dengan Putusan MK. Menurut Habiburokhman, putusan MK hanya membatalkan frasa tertentu, bukan melarang secara menyeluruh penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga membuka suara terkait polemik tersebut. Ia menyatakan bahwa Perpol 10/2025 justru menguatkan keputusan MK tentang pengisian jabatan ASN oleh polisi aktif.
“Itu yang dihilangkan dalam putusan MK, penugasan Kapolri, lalu frasa-frasa terkait tugas kepolisian sudah jelas di sana,” kata Sigit kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin, 15 Desember 2025.
Anggota FPIR DPR RI, Fauzan Ohorella, menilai bahwa Perpol 10/2025 merupakan sikap Kapolri yang taat konstitusi. Menurutnya, Perpol tersebut menegaskan penempatan anggota polisi pada 17 kementerian atau lembaga sesuai dengan tugas pokok dan kompetensi anggota polisi.
“Saya kira Perpol ini juga memberikan mekanisme internal bagaimana penugasannya, termasuk persyaratan kompetensi, permintaan resmi dari instansi, dan persetujuan pihak terkait,” ujarnya pada Kamis, 18 Desember 2025.
Sementara itu, pengamat politik Amir Hamzah membela Perpol tersebut dengan menyatakan bahwa aturan itu sudah melalui konsultasi dengan DPR dan dilaporkan ke Presiden.
“Informasi yang saya dapatkan, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu sudah melalui konsultasi dengan DPR dan dilaporkan ke Presiden. Jadi sangat keliru jika disebut sebagai bentuk perlawanan Kapolri terhadap Presiden Prabowo,” ujar Amir pada Sabtu, 13 Desember 2025.
Di sisi berbeda, Forum Tanah Air (FTA), jaringan aktivis diaspora Indonesia di 22 negara, mengeluarkan pernyataan sikap yang tegas menolak Perpol 10/2025. Dalam pernyataan yang dirilis di New York dan Jakarta pada Rabu, 17 Desember 2025, FTA menilai Perpol ini membuka ruang penugasan anggota Polri aktif tanpa kewajiban pensiun atau mengundurkan diri.
“MK telah menegaskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil di luar kepolisian tanpa terlebih dahulu pensiun atau berhenti dari dinas Polri. Perpol ini juga bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 28 ayat (3) dan UU ASN No. 20 Tahun 2023,” demikian pernyataan FTA.
FTA menyampaikan tiga tuntutan utama. Pertama, mendesak pencabutan Perpol No. 10 Tahun 2025 karena dinilai melanggar konstitusi. Kedua, menuntut Presiden Prabowo Subianto mencopot Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ketiga, menyerukan masyarakat sipil menolak hasil kerja komisi apabila prosesnya tidak independen dan transparan.
Aktivis dan pengamat politik Yusuf Blegur bahkan menilai polemik ini bukan sekadar persoalan teknis hukum. Dalam pernyataan tertulisnya yang dirilis di Bekasi pada Rabu, 17 Desember 2025, ia menganggap konflik ini sebagai bagian dari upaya pelemahan sistematis terhadap Presiden Prabowo Subianto.
“Prabowo hidup dalam ilusi sebagai pemimpin sejati, padahal faktanya berkuasa dalam ketidakberdayaan. Ia lebih dari sekadar tersandera,” tulis Yusuf Blegur.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menjelaskan bahwa pengalihan tugas personel Polri ke instansi pusat didasarkan pada regulasi yang berlaku.
“Polri pada pengalihan jabatan anggota Polri dari jabatan managerial/non managerial pada organisasi dan tata kerja Polri untuk dialihkan pada organisasi dan tata kerja K/L (instansi pusat tertentu) yaitu berdasarkan regulasi,” ujarnya di Jakarta pada Jumat, 12 Desember 2025.
Trunoyudo menambahkan bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian beserta penjelasannya tetap memiliki kekuatan hukum pasca putusan MK.
Perpol 10/2025 mengatur penugasan anggota Polri di 17 kementerian dan lembaga negara, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Lembaga lain yang tercantum meliputi Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, PPATK, Badan Narkotika Nasional, BNPT, Badan Intelijen Negara, Badan Siber dan Sandi Negara, serta Komisi Pemberantasan Korupsi.
Polemik ini menunjukkan kompleksitas tafsir hukum dalam negara demokrasi. Di satu sisi, ada kekhawatiran publik terhadap potensi kembalinya dwifungsi aparat keamanan. Di sisi lain, negara membutuhkan fleksibilitas administratif untuk mengelola sumber daya aparat secara efektif.
Kritik yang muncul sebagian berangkat dari trauma sejarah dan kehati-hatian terhadap kekuasaan aparat. Namun, tanpa membaca secara utuh substansi dan mekanisme pengawasannya, kritik tersebut berisiko berubah menjadi opini normatif yang tidak berbasis fakta hukum.
Yang jelas, dinamika ini mencerminkan kehidupan demokrasi yang sehat di mana perbedaan pendapat dapat disampaikan secara terbuka. Publik yang semakin kritis justru menjadi modal penting dalam mengawal proses reformasi institusi kepolisian dan penegakan hukum di Indonesia.
Jangan Lewatkan Update Terbaru!
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan WhatsApp Channel